Bengkulu - Di antara tumpukan sampah yang menjulang tinggi di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Nakau, Air Sebakul, Kota Bengkulu, seorang perempuan paruh baya tampak tekun memilah-milah botol plastik, kardus bekas, hingga onderdil motor yang sudah tak terpakai.
Salah satu warga Desa Air Putih, Liana (53), yang sudah belasan tahun menggantungkan hidupnya dari pekerjaan sebagai pemulung.
“Sudah lama, belasan tahun. Waktu saya mulai kerja di sini, anak saya masih kelas 3 SD,” ungkap Liana saat ditemui di lokasi.
Penghasilan yang diperolehnya setiap hari tak menentu. Jika sedang sepi barang, ia hanya membawa pulang Rp3.000. Namun saat rezeki sedang berpihak, Liana bisa mendapatkan hingga Rp70.000 per hari. Semua bergantung pada seberapa banyak botol plastik, kardus, kaleng, atau barang bekas lain yang berhasil ia kumpulkan.
“Kadang cuma dapat tiga ribu, kadang tiga puluh ribu, kalau banyak bisa enam puluh ribu sampai tujuh puluh ribu sehari,” jelasnya.
Setiap pagi, ia sudah memulai aktivitas sejak pukul 05.30 atau 07.00 WIB lalu pulang sekitar pukul 15.00. Tanpa jadwal kerja yang tetap, ia bekerja mandiri bersama pemulung lain di area yang dikelola pihak swasta. Barang-barang hasil pungutan dijual langsung ke pengepul yang datang pada sore hari.
“Harga botol plastik sekitar seribu empat ratus per kilo, kardus seribu lima ratus rupiah per kilo,” katanya.
Berbagai tantangan harus ia hadapi. Cuaca ekstrem, hujan yang membuat jalanan becek dan licin, hingga teriknya panas matahari menjadi risiko sehari-hari.
“Kalau hujan itu berat, becek, licin, barang jadi basah semua. Kalau panas juga ya panas banget,” tuturnya.
Liana mengaku pernah beberapa kali menerima bantuan dari pemerintah, seperti nasi bungkus setiap Jumat atau paket sembako menjelang Lebaran. Meski begitu, ia berharap perhatian pemerintah bisa lebih besar agar kesejahteraan para pemulung lebih terjamin.
“Harapannya tempat ini tetap bisa dipakai cari rezeki. Kami juga berharap pemerintah bisa bantu lebih banyak supaya kami bisa lebih sejahtera,” ujarnya.
Motivasinya bekerja di TPA ini tak lain demi menghidupi keluarga dan membiayai pendidikan anak-anaknya. Dari empat anaknya, ada yang sudah bertunangan dan yang bungsu masih duduk di bangku kelas 2 SMA.
Meski hidup penuh keterbatasan, Liana tetap bersyukur dan pantang menyerah. Baginya, tumpukan sampah ini bukan sekadar limbah tak berguna, melainkan sumber penghidupan untuk mempertahankan kehidupan. (Feby)