Catatan Redaksi

Demokrasi Transaksional: Ketika Uang Menjadi Raja

Demokrasi Transaksional: Ketika Uang Menjadi Raja
Ilustrasi

DEMOKRASI sistem yang didirikan atas dasar kedaulatan rakyat, kini terancam oleh praktik transaksional yang menggerogoti nilai-nilai dasarnya. Ironisnya, dalam konteks pemilihan anggota DPRD Kabupaten/Kota, DPRD Provinsi, DPR RI, hingga DPD RI, kita menyaksikan bagaimana demokrasi yang seharusnya menjadi wadah aspirasi rakyat, perlahan berubah menjadi arena transaksi. Dalam praktik demokrasi transaksional ini, suara tidak lagi menjadi simbol aspirasi, melainkan komoditas yang ditukar dengan uang atau barang, seperti sembako.

Fenomena ini tidak hanya mencerminkan inisiatif dari para calon legislatif yang berusaha 'membeli' suara rakyat melalui uang tunai atau sembako. Lebih dari itu, inisiatif transaksional juga berasal dari masyarakat itu sendiri, yang dengan terbuka menerima 'tawaran' tersebut. Situasi ini menunjukkan adanya kerusakan sistemik dalam pemahaman dan praktik demokrasi, di mana kedua belah pihak, baik pemberi maupun penerima, kompak dalam menodai esensi dari pemerintahan rakyat.

Dampak Negatif Praktik Transaksional

Dampak dari praktik transaksional ini terhadap kemajuan bangsa tidak bisa dianggap enteng. Pertama, hal ini menggerus prinsip meritokrasi, di mana yang terpilih bukanlah mereka yang paling kompeten, melainkan yang paling royal menggelontorkan uang. Akibatnya, kualitas representasi rakyat di lembaga legislatif menjadi dipertanyakan, karena tidak berbasis pada kemampuan atau visi, melainkan pada kedalaman kantong.

Kedua, demokrasi transaksional menciptakan lingkaran setan korupsi. Para legislatif yang terpilih melalui cara ini akan cenderung mencari cara untuk 'mengembalikan modal', yang tidak jarang berujung pada tindakan koruptif. Hal ini tidak hanya merugikan negara dari segi finansial, tetapi juga merusak integritas dan kepercayaan publik terhadap sistem pemerintahan.

Ketiga, praktik ini menanamkan pemahaman yang salah tentang demokrasi di kalangan masyarakat. Demokrasi dianggap sebagai ajang transaksi jual beli suara, bukan sebagai proses seleksi pemimpin yang akan membawa perubahan dan kemajuan bagi masyarakat dan bangsa.

Menuju Reformasi Demokrasi

Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan reformasi komprehensif dalam sistem demokrasi kita. Pendidikan politik yang memadai bagi masyarakat menjadi kunci utama, agar pemilih memahami pentingnya memilih berdasarkan visi, misi, dan track record calon, bukan berdasarkan iming-iming uang atau barang. Selain itu, perlu adanya pengawasan yang lebih ketat dan hukuman yang tegas bagi para pelaku praktek transaksional, baik dari sisi pemberi maupun penerima.

Reformasi hukum dan sistem pemilihan juga perlu dilakukan untuk meminimalisir peluang terjadinya transaksi politik. Misalnya, dengan menerapkan sistem pemilihan yang lebih terbuka dan transparan, serta memperkuat lembaga-lembaga pengawas pemilu.

Demokrasi transaksional adalah cermin dari kemerosotan nilai dan integritas politik kita. Untuk menjaga agar demokrasi tetap menjadi sistem yang berlandaskan pada aspirasi dan kepentingan rakyat, kita harus bersama-sama berkomitmen untuk mengeliminasi praktik transaksional ini dari sistem politik kita. Saatnya kita kembali kepada esensi demokrasi yang sejati: pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. ***

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index