Aktivis Bengkulu Peringati Hari Gajah Sedunia, Soroti “Status Palsu” Perlindungan Gajah Sumatera

Aktivis Bengkulu Peringati Hari Gajah Sedunia, Soroti “Status Palsu” Perlindungan Gajah Sumatera
Sejumlah aktivis yang tergabung dari kalangan mahasiswa, kelompok pencinta alam, pegiat lingkungan, hingga pemerhati HAM menggelar aksi memperingati Hari Gajah Sedunia, di Bengkulu.

Bengkulu - Memperingati Hari Gajah Sedunia, sekelompok aktivis lingkungan di Bengkulu mengangkat tema “Gajah Stateless” sebagai bentuk kritik terhadap pemerintah yang dinilai hanya memberikan status perlindungan gajah Sumatera di atas kertas tanpa tindakan nyata di lapangan.

Sejumlah aktivis yang tergabung dari kalangan mahasiswa, kelompok pencinta alam, pegiat lingkungan, hingga pemerhati HAM menggelar aksi memperingati Hari Gajah Sedunia, di Bengkulu. Mengusung tema “Gajah Stateless” atau “Gajah Tanpa Status”, aksi ini menyoroti lemahnya implementasi perlindungan terhadap gajah Sumatera, khususnya yang berada di Bentang Alam Seblat.

Koordinator aksi, Cimbyo, menjelaskan bahwa istilah “Gajah Stateless” sengaja digunakan sebagai sindiran terhadap pemerintah. Menurutnya, meski gajah Sumatera telah ditetapkan sebagai satwa dilindungi berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 dan diakui secara global sebagai spesies yang terancam punah, fakta di lapangan menunjukkan kondisi yang jauh dari perlindungan.

“Status itu hanya di atas kertas. Di alam, gajah Sumatera tetap diburu, diambil gadingnya, dijerat, bahkan habitatnya dihancurkan. Negara memberikan izin tambang, penebangan kayu, dan perkebunan di habitat terakhir gajah kita di Seblat. Itu artinya negara sendiri yang menghancurkan rumah gajah,” tegas Cimbyo.

Berdasarkan patroli lapangan yang dilakukan pada 2023, populasi gajah liar di Bentang Alam Seblat diperkirakan hanya tersisa 40–60 ekor. Angka ini menurun drastis dibandingkan tahun 1990 yang mencapai sekitar 200 ekor. Selain gajah liar, terdapat pula 10 ekor gajah jinak yang berada di Pusat Latihan Gajah (PLG). Penurunan populasi ini, kata Cimbyo, dipicu oleh perburuan dan perusakan habitat akibat ekspansi industri.

Sebagai bentuk simbol perlawanan, para aktivis menggunakan logo “One Piece” dalam aksi mereka. “Kami ingin melawan status palsu itu. Jangan hanya menyebut hewan ini dilindungi, tapi biarkan habitatnya rusak. Itu sama saja membiarkan gajah menuju kepunahan,” ujarnya.

Bentang Alam Seblat sendiri, lanjut Cimbyo, merupakan kawasan khusus yang menjadi habitat terakhir gajah di Bengkulu. Kawasan ini mencakup Hutan Produksi Air Ipuh I dan II hingga Taman Wisata Alam Seblat. “Itu wilayah main gajah. Kalau habitat ini hilang, habislah gajah kita,” tegasnya.

Para peserta aksi berharap suara mereka mendapat perhatian serius dari pemerintah. Mereka menuntut agar status perlindungan gajah tidak hanya menjadi jargon, melainkan diikuti dengan kebijakan konkret yang menghentikan perusakan habitat. 

“Negara tidak boleh bermain-main dengan status satwa dilindungi. Kalau benar mau melindungi, hentikan perusakan di Bentang Alam Seblat,” pungkas Cimbyo. (Feby)

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index