BENGKULU – Masa depan Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) di Provinsi Bengkulu kini berada di titik nadir. Fragmentasi hutan akibat pembukaan jalan industri di dalam kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Seblat dilaporkan telah memutus koridor alami yang menghubungkan dua kantong habitat terakhir satwa kharismatik ini.
Akademisi Jurusan Kehutanan Universitas Bengkulu, Gunggung Senoaji, memperingatkan bahwa keberadaan jalan yang membelah kawasan konservasi tersebut bukan sekadar masalah infrastruktur, melainkan ancaman genetik dan ekologis bagi gajah.
Memutus Rantai Kehidupan Koridor yang kini terfragmentasi tersebut sejatinya berfungsi sebagai jalur migrasi, sumber pakan, hingga ruang pertemuan untuk proses reproduksi alami gajah.
Penutupan akses bagi gajah karena aktivitas industri di TWA Seblat memaksa satwa ini terisolasi di kantong-kantong kecil.
“Saat ini dibutuhkan koridor yang aman untuk mempertemukan dua kantong habitat yang tersisa, yaitu kantong Air Rami dan kantong Air Ipuh. Tanpa akses ini, fungsi reproduksi alami mereka akan terganggu,” jelas Gunggung.
Meningkatnya Konflik Manusia-Gajah Data lapangan menunjukkan bahwa penyempitan habitat memaksa gajah keluar dari hutan dan masuk ke wilayah budidaya.
Hal ini memicu peningkatan eskalasi konflik antara manusia dan gajah, yang sering kali berakhir dengan kematian satwa akibat perburuan atau keracunan—sebagaimana yang kerap terjadi di Riau dan Aceh.
Koalisi Bentang Seblat menegaskan bahwa TWA Seblat bukan ruang kompromi bagi kepentingan industri.
"Setiap kebijakan yang membuka akses permanen di kawasan konservasi adalah keputusan yang mempertaruhkan masa depan gajah Sumatera," tulis pernyataan resmi koalisi.
Jika pemerintah tidak segera mengembalikan fungsi jalan menjadi jalur patroli murni, dikhawatirkan Gajah Sumatera di Bengkulu hanya akan menjadi cerita di masa depan bagi generasi mendatang.***
