Tan Malaka, Bapak Republik yang Gugur di Senapan Bangsa Sendiri

Tan Malaka, Bapak Republik yang Gugur di Senapan Bangsa Sendiri
Tan Malaka, Bapak Republik yang berjuang Dalam Sunyi dan Jauh dari Hiruk Pikuk Kekuasaan.

"Tuan Rumah takkan Berunding dengan Maling yang menjarah rumahnya", demikian salah satu ungkapan terkenal dari seorang tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia bernama asli Sutan Ibrahim, bernama lengkap Ibrahim Datuk Tan Malaka atau yang dikenal secara luas sebagai Tan Malaka. Tan Malaka yang resmi ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1963, harus menghabiskan separuh lebih hidupnya sebagai pelarian politik. 

Tokoh Revolusioner asal Pandam Gadang Suliki Kabupaten Lima Puluh Kota provinsi Sumatera Barat ini bahkan baru bisa kembali ke tanah airnya pada tahun 1942, itupun harus dengan menggunakan nama samaran Ilyas Husein agar tidak dikenali penjajah Belanda. Putra dari Rasad Chaniago dan Sinah Simabur yang menggagas Kemerdekaan Indonesia 100 persen ini, disebut-sebut memiliki lebih dari 23 nama samaran, dan harus lari ke berbagai negara dari Eropa hingga asia timur demi terlepas dari pengejaran Belanda dan sekutunya. 

Oleh karib perjuangannya yakni Muhammad Yamin, Tan Malaka disebut sebagai Bapak Republik Indonesia, setelah menggagas berdirinya Republik Indonesia puluhan tahun sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia bisa dilakukan. Gagasan ini dituangkan Tan Malaka dalam sebuah buku revolusioner yang ia terbitkan di Kanton-Tiongkok pada April 1925, berjudul Naar de Republiek Indonesia atau Menuju Republik Indonesia. Didalam buku tersebut ia menjelaskan keadaan dunia secara umum saat itu, dari krisis ekonomi yang dihadapi Belanda, kesempatan revolusi kemerdekaan Hindia Belanda atau Indonesia yang kita kenal saat ini, hingga prediksinya tentang pecahnya perang antara Amerika dan Jepang di Pasifik. 

Mirisnya riwayat Tan Malaka, sang Bapak Sejarah Republik yang harus hidup dari penjara ke penjara demi memperjuangkan kemerdekaan penuh Indonesia ini, justru pernah berusaha dihilangkan oleh Rezim Orde Baru dari catatan sejarah Bangsa Indonesia. Catatan hitam itu belum termasuk nasib tragis Sang Pejuang asal Minangkabau ini, yang harus meregang nyawa diujung senapan prajurit bangsanya sendiri pada 21 Februari 1949 di Selopanggung Kediri, Jawa Timur. 

Contoh upaya penghapusan jejak oleh Rezim Orde baru ini, seperti kehadirannya dalam Rapat Raksasa mendukung kemerdekaan Indonesia di Lapangan Ikada Jakarta tanggal 19 September 1945, baru bisa diketahui secara luas oleh masyarakat Indonesia pasca masa reformasi tepat setelah tumbangnya Rezim Orde Baru pada 1998. Padahal saat itu, Tan Malaka diyakini sebagai otak dan penggerak utama para pemuda untuk menggelar rapat umum bersejarah tersebut. 

Terbunuhnya Tan Malaka saat itu membuat banyak tokoh Republik terhantui dengan jalan perjuangan revolusi yang tengah ditempuh. Merespon hal ini, Pemerintahan Bung Hatta langsung mencopot Sungkono selaku Panglima Divisi Jawa Timur dan Surahmat dari posisinya sebagai Komandan Batalion Sikatan di Kediri, yang dianggap bertanggung jawab atas terbunuhnya Tan Malaka. Sementara Presiden Soekarno pada tahun 1963, resmi menganugerahkan Pahlawan Nasional pada Tan Malaka. 

Meski sudah puluhan tahun tiada dan resmi menyandang gelar sebagai Pahlawan Nasional, namun pemikiran dan gagasan kritis Tan Malaka selalu membuat tidak nyaman para penguasa yang senang dengan kemapanan. Alhasil selama masa orde baru, keberadaan jejak pemikiran, gagasan kritis bahkan jejak perjuangannya selalu terkesan ditutup-tutupi bahkan dihapus dari sejarah Indonesia. Seperti terjemahan buku autobiografi perjuangan Tan Malaka dengan judul, Tan Malaka Pergulatan menuju Republik 1897-1925 karya sejarahwan Belanda Harry A Poeze terbitan tahun 1988, dilarang peredarannya oleh pemerintahan orde baru.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index