JAKARTA, IKOBENGKULU.COM - Inggris dan Amerika Serikat telah memulai serangan militer terhadap pejuang Houthi yang didukung Iran di Yaman, setelah beberapa minggu ketegangan di Laut Merah, konfirmasi resmi dari pejabat militer AS.
Dalam beberapa bulan terakhir, pemberontak Houthi di negara Timur Tengah itu telah melancarkan serangan terhadap kapal-kapal yang melintasi Laut Merah, menimbulkan kekhawatiran para pemimpin Barat.
"Sesuai dengan informasi terbaru, pasukan Inggris bersama sekutu AS telah memulai pemboman lebih dari selusin situs yang digunakan oleh Houthi di Yaman," ungkap sumber resmi.
Serangan ini menargetkan termasuk pusat logistik, sistem pertahanan udara, dan lokasi penyimpanan senjata, menggunakan misil Tomahawk yang diluncurkan dari kapal perang dan jet tempur.
"Ini merupakan respons langsung terhadap ancaman yang ditimbulkan oleh Houthi terhadap kebebasan navigasi dan keselamatan di laut," jelas pejabat tersebut.
Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak mengadakan pertemuan kabinet darurat sekitar pukul 19:45 setelah Menteri Pertahanan Grant Shapps memperingatkan bahwa Inggris tidak akan tinggal diam jika gangguan di rute pengiriman global terus berlanjut.
"Kami akan mengambil tindakan untuk membela kebebasan navigasi dan melindungi kehidupan di laut," tegas Sunak.
Peningkatan ketegangan ini terjadi setelah pemimpin Houthi Yaman mengancam AS dengan respons yang lebih 'besar' dari serangan di Laut Merah yang sempat terjadi pada awal Rabu, yang berhasil dihindari berkat misil Inggris.
Kapal perang Angkatan Laut Inggris, HMS Richmond, sedang menuju Teluk untuk melindungi kapal-kapal dari serangan Houthi.
"Kami bertekad untuk melindungi kepentingan internasional dan mempertahankan stabilitas di kawasan," kata pejabat militer Inggris.
Serangan ini menjadi salah satu respons terhadap meningkatnya serangan Houthi sejak November, sebagai bagian dari protes mereka terhadap pemboman Israel di wilayah Palestina yang diduduki. "Kami akan terus melakukan operasi militer terhadap musuh Israel," ujar pemimpin Houthi, Abdel Malik al-Houthi.
Langkah ini telah menimbulkan kontroversi, dengan beberapa anggota parlemen meminta debat dan pengawasan yang lebih ketat terhadap keputusan militer ini.