BELEM, BRASIL - Gagasan Green Democracy yang diperkenalkan Ketua DPD RI, Sultan Baktiar Najamudin, mencuri perhatian para delegasi dan industrialis negara maju pada plenary Investment Forum Conference of Parties (COP) ke-30 yang berlangsung di Belem, Brasil, Kamis (13/11) waktu setempat.
Sebagai salah satu keynote speaker, Sultan tampil mewakili Indonesia dengan mengusung tema “Green Democracy and The Climate Change Bill: Indonesia’s Path to Sustainable Transformation”. Paparan tersebut mendapat respons positif dari peserta forum yang menilai gagasan itu relevan dengan kebutuhan global dalam memperkuat ketahanan iklim.
“Komitmen Indonesia terhadap kesepakatan Paris telah dibuktikan melalui berbagai kebijakan hijau, termasuk Perpres Nomor 110 Tahun 2025 tentang Nilai Ekonomi Karbon,” ujar Sultan dalam forum tersebut.

Ia menjelaskan, DPD RI juga telah mendorong berbagai inisiatif legislatif seperti RUU Masyarakat Adat, RUU Daerah Kepulauan, hingga RUU Pengelolaan Perubahan Iklim. Menurutnya, inisiatif tersebut merupakan bagian dari kontribusi Indonesia dalam mempercepat target dekarbonisasi melalui kebijakan yang berkeadilan.
Lebih jauh, Sultan menyampaikan bahwa kehadirannya di forum investasi COP30 merupakan dukungan terhadap diplomasi iklim Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Indonesia, kata Sultan, ingin membangun kerja sama dalam pemanfaatan potensi carbon storage dan transisi energi secara kolaboratif.
“Indonesia memiliki hutan hujan tropis terluas ketiga di dunia dan ekosistem mangrove terbesar secara global. Potensi energi terbarukan kita juga sangat besar,” tegasnya.
Namun ia mengingatkan, tantangan krisis iklim semakin nyata. Dalam tiga dekade terakhir, suhu bumi meningkat drastis. Karena itu, menurutnya, upaya dekarbonisasi harus ditempuh melalui dua jalur sekaligus: transisi energi dan penguatan industri carbon capture.
Sultan juga mengutip UNDP Global Climate Report 2024 yang menyebutkan bahwa 70% kebijakan iklim dunia gagal bukan karena kurangnya teknologi atau pendanaan, tetapi karena lemahnya integrasi politik. Dari sinilah gagasan Green Democracy mengambil peran.
“Green Democracy ingin mengembalikan kesadaran ekologis dalam ruang demokrasi. Ini adalah gerakan pendidikan politik hijau yang kami bangun secara masif di Indonesia,” jelas mantan Ketua KONI Bengkulu itu.
Menurut Sultan, paradigma Green Democracy berupaya menghubungkan kepentingan daerah, kebutuhan kebijakan, dan keadilan ekologis dalam satu arus transformasi demokrasi yang lebih inklusif. Ia juga menegaskan bahwa komitmen aksi iklim sangat ditentukan oleh institusi demokrasi yang bertanggung jawab.
“Kita patut mengapresiasi agenda pro-ekologi Presiden Prabowo Subianto melalui Asta Cita. Dari Belem, kami menegaskan bahwa aksi iklim kini menjadi prioritas lembaga Senat Indonesia,” tegasnya.
Sultan menutup paparannya dengan rencana inisiatif DPD RI untuk menggelar pertemuan parlemen negara-negara pemilik hutan hujan tropis sebagai upaya memperkuat diplomasi iklim global.
Usai menyampaikan pidato selama 13 menit, sejumlah delegasi negara sahabat menyampaikan apresiasi kepada Sultan. Mereka menilai gagasan Green Democracy sangat relevan dengan arah kebijakan ketahanan iklim dunia dan menyatakan ketertarikan untuk mengundang Sultan berbagi pengalaman dalam forum internasional lainnya. (Cik)
