IDC 2024: Media Harus Berdamai dan Beradaptasi dengan Kecerdasan Buatan

IDC 2024: Media Harus Berdamai dan Beradaptasi dengan Kecerdasan Buatan
Para pembicara di Indonesia Digital Conference 2024 membahas tantangan dan peluang yang dihadapi media dalam mengadopsi kecerdasan buatan di era digital. (FOTO: DOK/AMSI)

JAKARTA, IKOBENGKULU.COM – Penggunaan kecerdasan buatan (AI) oleh perusahaan media, termasuk anggota Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), meningkat pesat dalam setahun terakhir.

AI kini diadopsi dalam berbagai aspek, mulai dari penyuntingan, penandaan otomatis, pengisi suara, hingga pembuatan avatar.

Menurut CEO KG Media, Andy Budiman, media harus berdamai dan beradaptasi dengan perubahan ini.

"Salah satu tugas media adalah mencerahkan peradaban. Oleh karena itu, media harus berdamai dan beradaptasi dengan perubahan," ujarnya dalam diskusi di Indonesia Digital Conference (IDC) 2024 yang digelar AMSI di Hotel Santika Premiere, Jakarta (28/8/2024).

Andy menekankan bahwa adopsi AI akan semakin meluas dan menjadi keniscayaan dalam industri media. Namun, ia juga mengingatkan bahwa nilai tambah perusahaan media di era AI sangat bergantung pada originalitas dan relevansi konten yang diproduksi.

Para pembicara di Indonesia Digital Conference 2024 membahas tantangan dan peluang yang dihadapi media dalam mengadopsi kecerdasan buatan di era digital. (FOTO: DOK/AMSI)

Meski begitu, AI juga menimbulkan tantangan, seperti ketimpangan antara platform media sosial dan perusahaan media sebagai publisher.

Banyak konten berita media yang tersebar di platform tidak berdampak finansial bagi perusahaan media yang memilikinya, karena iklan lebih banyak masuk ke platform daripada ke perusahaan media.

Andy juga menyoroti bahwa platform sering kali tidak bertanggung jawab atas konten yang diunggah oleh pengguna, berbeda dengan media yang harus bertanggung jawab penuh atas konten yang mereka terbitkan.

Contoh lainnya adalah AI yang sering menghilangkan hak penerbit terhadap konten, karena banyak konten yang dihasilkan AI tidak menyebutkan sumber asli dari media yang dikutip.

Menanggapi isu ini, Irene Jay Liu, Director AI Emerging Tech and Regulation di The International Fund for Public Interest Media (IFPIM), menekankan pentingnya regulasi untuk melindungi hak penerbit.

"Regulasi privasi, perlindungan penerbit, dan hak cipta sangat penting untuk mendukung kelangsungan hidup penerbit," jelas Irene dalam diskusi tersebut.

Irene juga mencontohkan regulasi di negara maju yang memungkinkan pengguna menolak pemrosesan informasi pribadi, serta tindakan regulasi di Eropa di bawah GDPR (General Data Protection Regulation).

Lebih lanjut, ia menyarankan bahwa publisher seharusnya memiliki opsi untuk memblokir platform AI dari mengindeks situs mereka, guna melindungi hak atas konten yang diproduksi.

"Apa yang harus dilakukan publisher? Jangan panik, tetapi tetap terinformasi. Pantau pembaruan dari pengembang dan pengumuman platform. Tegaskan kontrol atas bagaimana konten Anda digunakan dengan alat web yang tersedia. Fokuslah pada hubungan langsung dengan audiens Anda dan bangun kolaborasi antarperusahaan media," tambah Irene.

Kolaborasi antara perusahaan media dan platform AI menjadi kunci penting. Ika Idris, Co-Director Monash Data & Democracy Research Hub, menegaskan bahwa AI sangat membutuhkan data dari publisher.

"Dari tahun 2014 hingga sekarang, kebutuhan data oleh AI sangat cepat dan masif, bisa mencapai triliunan data. Apa sebenarnya yang dibutuhkan platform AI dari publisher? Yang pertama adalah datanya," kata Ika.

Inovasi dan adaptasi adalah keharusan bagi media dalam menghadapi era kecerdasan buatan, di mana kolaborasi dan regulasi menjadi kunci untuk menjaga keberlanjutan bisnis dan melindungi hak penerbit. ***

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index