BENGKULU - Di tengah maraknya tren belanja online yang merajalela, para pedagang PTM Bengkulu tetap menunjukkan semangat juang tinggi untuk mempertahankan usaha mereka. Salah satunya adalah Marni (47), warga Rawa Makmur yang sudah 15 tahun berjualan kebaya dan gamis di PTM sejak tahun 2010.
“Dulu waktu belum ada online shop, pembeli ramai. Omset bisa sampai dua sampai tiga juta per hari, kadang lebih,” kata Marni. Namun, sekitar tiga hingga empat tahun terakhir, sejak online shop mulai menjamur, pendapatan pun perlahan menurun
Menurutnya, salah satu tantangan terbesar saat ini adalah stigma negatif tentang PTM yang disebut-sebut sudah tutup. “Padahal kami masih tetap buka setiap hari. Tapi karena ada berita begitu, orang jadi ragu mau datang,” jelasnya.
Marni mengaku tetap bersyukur masih bisa berjualan meskipun penghasilan tahun ini jauh menurun dibandingkan sebelumnya. Ia juga menyampaikan bahwa pihak PTM telah menurunkan biaya sewa guna meringankan beban pedagang. “Dulu sewanya lumayan mahal saat rame, sekarang sudah lebih stabil karena diturunkan,” tambahnya.
Meski mencoba merambah ke online shop untuk menyesuaikan zaman, Marni mengaku masih lebih memilih berjualan langsung di lapak. “Di online pesaingnya banyak. Kalau di sini, pembeli bisa langsung lihat barang, bisa dicoba, bisa ditukar kalau tidak cocok. Kualitas juga bisa dipastikan. Ada harga, ada kualitas,” tegasnya.
Ia pun berharap pemerintah lebih memperhatikan nasib pedagang di PTM. “Kalau kami dibantu, kalau PTM ramai lagi, pemerintah juga ikut untung. Bisa bantu pembangunan juga, dan kami bisa bertahan lebih lama,” ujar Marni dengan penuh harap.
Kisah Marni menjadi cerminan semangat para pedagang lokal yang terus berjuang di tengah gempuran era digital. Meski tak seramai dulu, semangat dan pelayanan tetap menjadi senjata utama mereka dalam mempertahankan eksistensi pasar tradisional. (Feby)