Bengkulu - Di tengah gempuran kuliner instan dan makanan kekinian yang terus bermunculan, lemang makanan berbahan dasar beras ketan yang dimasak dalam bambu masih mampu mempertahankan eksistensinya.
Di Jalan Sungai Rupat, Kota Bengkulu, terdapat sebuah pondok sederhana yang setiap pagi rutin menyajikan lemang hangat kepada pelanggan setia. Pondok tersebut dikelola oleh Ismawati (45), yang telah berjualan sejak tahun 2020.
Ismawati setiap pagi membawa sekitar 20 batang lemang lengkap dengan air tape sebagai pelengkap. Meski tidak memanfaatkan media sosial atau alat promosi modern, lapak kecilnya tetap ramai dikunjungi.
Harga lemang yang ditawarkan cukup ramah, berkisar antara Rp10.000 hingga Rp15.000 tergantung ukuran. Ia tetap menggunakan cara memasak tradisional, tanpa tambahan pengawet atau bahan modifikasi modern, demi menjaga keaslian rasa.
“Saya tetap pakai cara lama biar rasanya gak berubah. Biar orang tau seperti apa rasa lemang asli jaman dulu,” ujarnya saat diwawancarai.
Baginya, usaha ini bukan sekadar mencari penghasilan, melainkan juga upaya menjaga warisan budaya kuliner daerah. Dari hasil berjualan lemang, ia mampu mencukupi kebutuhan keluarga, menyekolahkan anak-anaknya, bahkan membeli sepeda motor dari hasil menabung.
Bagi sebagian besar warga Bengkulu, lemang bukan hanya makanan, tapi bagian dari budaya dan memori masa lalu. Dan di tengah arus perubahan zaman, pondok kecil di kawasan Sungai Rupat menjadi tempat untuk menghidupkan kembali kenangan itu sepotong tradisi yang tak terlupakan oleh waktu. (Feby)