(Sebuah refleksi opini oleh Prio Susanto, M.IKom, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Ratu Samban)
Pati pernah tenang seperti sawah yang baru selesai dipanen—hening, namun penuh cerita dibalik bulir-bulirnya. Lalu, pada suatu Agustus 2025, riak itu berubah menjadi gelombang. Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan—yang bagi sebagian orang terasa melompat jauh—menjadi percikan kecil yang membangunkan banyak hati. Satu demi satu percakapan muncul. Dari warung kopi, dari layar ponsel, hingga ke alun-alun.
Diantara riuh itu, sebuah kalimat meluncur: “50 ribu massa, silahkan.” Mungkin ia lahir dari keyakinan bahwa semua bebas bersuara. Namun seperti air yang menetes ke batu, suara itu memantul dengan bentuk yang berbeda di telinga orang lain—menjadi tantangan, bukan undangan.
Lalu, maaf pun terucap. Tetapi gelombang yang sudah meninggi tidak langsung surut, sebab amarah manusia jarang bisa diredakan hanya oleh kata-kata yang datang terlambat.
Hari itu, puluhan ribu orang memenuhi jalan. Mereka membawa berbagai keluhan, tak hanya soal pajak. Ada yang tentang pasar, ada tentang sekolah, ada pula tentang cara pemerintah mendengar dan berbicara. Ditengah teriknya siang dan panasnya emosi, Bupati berdiri diatas kendaraan polisi. Suaranya bergetar, “Saya mohon maaf.” Tetapi dihadapannya, angin masih membawa teriakan dan lemparan botol.
Dari kejadian ini, kita belajar bahwa nada sering lebih keras daripada kata. Kalimat yang lahir tanpa perhitungan rasa bisa menutup pintu hati sebelum argumen dimulai. Kita juga belajar, bahwa maaf bukan hanya ucapan, tapi langkah yang mendahului kata-kata itu sendiri. Dan kita ingat, bahwa ruang kosong dalam informasi akan segera diisi oleh tafsir—kadang benar, kadang meleset jauh.
Demonstrasi di Pati adalah pengingat, bahwa hubungan antara rakyat dan pemimpinnya adalah jembatan. Jika salah satu sisi retak, jembatan itu tidak roboh sekaligus—ia retak sedikit demi sedikit, hingga suatu hari satu kata mampu menjatuhkan batu terakhir.
Namun jembatan bisa diperbaiki. Tidak dengan semen kebanggaan atau cat pembenaran, melainkan dengan papan kejujuran, tali empati, dan pilar kesediaan mendengar.
Seperti sungai yang kembali jernih setelah banjir, kita pun bisa meredakan arus ini. Dengan saling memahami, dengan bicara yang dibungkus rasa, dan dengan mengingat bahwa setiap kata yang kita keluarkan bukan sekadar bunyi—tetapi doa yang kita kirimkan kepada masa depan.