IKOBENGKULU.COM — Gubernur Bengkulu Helmi Hasan memenuhi panggilan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bengkulu, Rabu, 30 Juli 2025. Ia datang bukan sebagai tersangka, melainkan saksi dalam perkara dugaan korupsi pengelolaan aset Pasar Tradisional Modern (PTM) dan Mega Mall. Pemeriksaan berlangsung di Gedung Bundar Kejaksaan Agung, Jakarta.
Helmi dimintai klarifikasi seputar sejumlah dokumen kebijakan saat ia menjabat Wali Kota Bengkulu dua periode. Pemeriksaan itu dilakukan setelah kasus pengelolaan PTM dan Mega Mall menyeret sejumlah nama ke meja penyidikan, termasuk dari pihak swasta dan pejabat era sebelumnya.
Kepada media, juru bicara Helmi, Zacky Antony, mengatakan bahwa Helmi hadir dengan itikad baik untuk menjelaskan duduk perkara. Ia juga menegaskan bahwa Helmi selama ini justru mengambil langkah pencegahan agar aset Pemkot Bengkulu tidak berpindah tangan.
“Pak Helmi secara tegas menolak pengalihan lahan kepada pihak pengelola. Beliau ingin memastikan status hukum PTM dan Mega Mall tetap atas nama Pemerintah Kota Bengkulu,” kata Zacky.
Menolak Pengalihan, Menentang Addendum
Riwayat persoalan ini bermula dari kerja sama antara Pemkot Bengkulu dan CV Dwisaha Selaras Abadi serta PT Trigadi Lestari sejak 2004. Kala itu, kedua perusahaan swasta mendapat hak mengelola Mega Mall berdasarkan perjanjian No. 640/228/B.VII, yang kemudian diperbarui dengan addendum pada 2005.
Masalah muncul ketika Hak Guna Bangunan (HGB) lahan tersebut dijadikan jaminan pinjaman ke Bank BRI senilai Rp34,9 miliar. Belakangan, sertifikat dan hak pengelolaan tersebut diketahui dialihkan ke bank lain tanpa persetujuan resmi dari pemerintah daerah.
“Padahal menurut PP Nomor 6 Tahun 2006 dan Permendagri Nomor 17 Tahun 2007, IMB dan kepemilikan aset daerah semestinya tetap atas nama pemerintah. Aset tersebut tidak boleh dijaminkan atau dialihkan,” ujar Zacky.
Pada 28 Juni 2013, Helmi Hasan selaku Wali Kota kala itu telah bersurat resmi ke Bank BRI, menegaskan bahwa pengalihan agunan tanpa dasar hukum adalah pelanggaran. Ia juga meminta agar sertifikat dan IMB dikembalikan sesuai ketentuan.
Zacky menyebut, Helmi juga menolak menandatangani addendum lanjutan perjanjian kerja sama karena empat poin penting yang diajukan Pemkot tidak dikabulkan pengelola. Empat poin itu adalah: perubahan nama IMB atas nama Pemkot, pengurangan masa kerja sama dari 40 menjadi 30 tahun, skema bagi hasil tanpa menunggu pengembalian investasi, dan penegasan bahwa seluruh aset akan diserahkan ke Pemkot saat masa kerja sama berakhir.
“Karena tidak ada kesepakatan, Pak Helmi tidak bersedia memperpanjang atau menambah addendum kerja sama,” kata Zacky.
Bukan Tersangka
Zacky juga menegaskan bahwa hingga kini status Helmi Hasan tetap sebagai saksi. Kehadirannya dalam pemeriksaan semata untuk memberikan keterangan sebagai mantan kepala daerah yang terlibat dalam pengelolaan kebijakan tersebut di masa lalu.
“Ini bukan proses penetapan tersangka. Ini adalah bagian dari upaya penelusuran fakta hukum. Jadi publik harus jernih dan tidak mudah terprovokasi narasi liar di media sosial,” ujarnya.
Langkah Helmi Hasan ini, menurut Zacky, menjadi bagian dari komitmen menjaga aset publik agar tidak disalahgunakan. “Pak Helmi berpijak pada hukum dan keberpihakan kepada kepentingan rakyat,” pungkasnya. ***