Liputan Politik: Tekankan Independensi, Verifikasi, dan Literasi Politik Lintas Negara

Sabtu, 04 Oktober 2025 | 12:44:15 WIB
Sandeep Unnithan menjelaskan pentingnya pertanyaan berbasis data untuk membuka percakapan kebijakan sensitif tanpa mengorbankan etik./ foto: ss zoom/

Uslimin mengajak media arus utama memperkuat jurnalisme berbasis data untuk menahan godaan spekulasi maupun tekanan politik. “Jangan turunkan laporan sebelum datanya digenggam. Kita harus berani investigasi, tetapi keselamatan jurnalis tetap utama,” ujarnya. Ia menekankan perlindungan narasumber sebagai prinsip nonnegotiable: identitas sumber rahasia tidak boleh dibuka, kecuali diperintahkan pengadilan.

Verifikasi: dari ‘Cover Both Sides’ menuju ‘Cover All Sides’

Menjawab pertanyaan peserta tentang batas antara independensi profesional dan pandangan pribadi, Uslimin menyebut verifikasi berlapis kunci menjaga kredibilitas. Ia mendorong ruang redaksi menegakkan standar “cover all sides” ketimbang sekadar “both sides” agar konteks isu politik yang kompleks tak tereduksi. “Lebih baik kalah cepat daripada salah fakta,” katanya, menambahkan bahwa berita mainstream mesti hadir terverifikasi, sebagai pembeda dari banjir informasi media sosial.

Ia juga menyoroti relasi newsroom–business room di media. Tekanan bisnis bisa datang, tetapi standar editorial tidak boleh dikompromikan. “Iklan jalan, tetapi tidak boleh memengaruhi pemberitaan,” tegasnya. Bagi jurnalis yang bekerja di media milik tokoh politik, Uslimin mengibaratkan “ikan laut yang tidak asin”—tetap profesional sekalipun hidup di lingkungan yang partisan.

Melek Regulasi Pemilu

Uslimin menilai banyak kekeliruan liputan berawal dari minimnya literasi regulasi. Wartawan politik perlu memahami UU Partai Politik, UU Pemilu, UU Pilkada, hingga peraturan teknis seperti PKPU dan kewenangan Bawaslu dalam penertiban alat peraga. “Jurnalis pemula harus gemar membaca regulasi agar tidak tersesat pada mis, dis, dan malinformation,” katanya.

Ia mendorong penyelenggara pemilu aktif bersosialisasi di luar masa tahapan agar ruang publik tidak didominasi konten menyesatkan. Di sisi lain, newsroom disarankan menghidupkan kembali posko peliputan menjelang pemilu—menghadirkan narasumber KPU, Bawaslu, pemantau pemilu, dan akademisi—sebagai ruang belajar kolektif.

Integritas dan Keberanian Prosedural

Menjawab soal tekanan politik dan ancaman saat bertugas, Uslimin menggarisbawahi pentingnya keteguhan prosedural: mengumpulkan dokumen pendukung, menjaga rantai verifikasi, dan menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan kelompok. “Integritas itu diuji di lapangan. Kalau data dan fakta kita solid, ruang untuk intervensi menyempit,” ujarnya.

Ia mencontohkan bagaimana upaya intervensi terhadap proses hasil pilkada pernah terjadi, termasuk dorongan sejumlah pihak agar aparat “membantu” mengubah peta dukungan. “Arahan resmi institusi harus dipatuhi. Di luar itu, jurnalis wajib berdiri di sisi kebenaran faktual,” katanya.

Menjaga Jarak dari “Money Politics”

Uslimin menyebut ancaman politik uang tak hanya menyasar jurnalis, tetapi bisa menembus pemilik media. Ia menyarankan kebijakan redaksi tertulis yang melindungi wartawan dari konflik kepentingan, serta traceability dokumen dan data agar laporan investigasi tak mudah dipatahkan. “Basis data menyelamatkan,” ujarnya.

Kolaborasi Ruang Redaksi

Menutup sesi, para mentor mendorong kolaborasi jurnalis Indonesia–India untuk saling bertukar praktik baik peliputan pemilu dan kebijakan publik. Sandeep menilai proyek-proyek konektivitas kawasan, termasuk rencana pengembangan pelabuhan di Pulau Nicobar Besar, akan mempererat interaksi kedua negara, termasuk ekosistem media.

Panitia mengapresiasi antusiasme peserta dan menegaskan Voices of Tomorrow akan terus menjadi ruang penguatan kapasitas jurnalis muda—sekaligus jembatan lintas negara untuk jurnalistik yang independen, akurat, dan berorientasi kepentingan publik. ***

Halaman :

Terkini