Basua Beniah, Senjata Perlawanan Krisis Pangan di Seluma

Rabu, 31 Juli 2024 | 20:59:25 WIB
Teks Foto: Upacara adat basua beniah berlangsung dengan sacral di Desa Muara Dua, Kecamatan Semidang Alas, Kabupaten Seluma, Sabtu (1/6/2024). (Bela Wilianti)

BENGKULU, IKOBENGKULU.COM – Doa berbalut mantra samar-samar menggema dilantunkan Mardi Harun (47), keturunan Raja Limpar Alam, pewaris sakral ritual adat basua beniah. Ia datang langsung dari Desa Selali, Kecamatan Pino Raya, Bengkulu Selatan, untuk memimpin ritual yang dibawa dari Pagaruyung tersebut.  

Kali ini, pelaksanaan basua beniah dilakukan di Desa Muara Dua, Kecamatan Semidang Alas, Kabupaten Seluma. Butuh waktu sekitar 2 jam bagi Mardi, untuk tiba di desa yang menjadikan lahan persawahan sebagai sumber penghidupan utama itu.  

Benih-benih yang dibawa para petani di desa yang memiliki 173 Kepala Keluarga (KK) itu dikumpulkan di karung sebelum ritual dibuka. Dilanjutkan dengan  pemotongan kambing  yang akan diambil darahnya, dicampur dengan benih yang sudah terkumpul. 

Setelah dilakukan ritual, benih-benih yang sudah dibasuah dibagikan kepada masyarakat yang membutuhkan. Selanjutnya akan ditanam pada musim tanam berikutnya.

Bukan tanpa alasan, basua beniah digelar kembali dikarenakan ancaman paceklik semakin nyata di desa yang terletak di hulu sungai Alas itu. Sekitar 200 hektare labih sumber kehidupan di sana gagal panen, sejak tahun 2022.

Gelisah akan rezeki padi yang makin menurun, bahkan setiap tangkai bulir yang siap dipanen hampa tak berisi, para pemangku memberikan perlawanan dengan ritual adat basua beniah. 

Memohon berkah kepada sang Seniang Seghi (Dewi Sri atau dewi padi menurut kepercayaan masyarakat Serawai), untuk mendapatkan hasil panen berlimpah di musim berikutnya.

“Basua beniah ini sama seperti tradisi nundang padi di Selali. Tapi cakupan basua beniah ini dikit dan dilaksanakan setahun sekali. Kalau ngundang padi itu 5 tahun sekali,” tutur Mardi dengan dialek kental Serawai Bengkulu Selatan, Rabu, 17 Juli 2024.

Rumah adat di Desa Selali, Kecamatan Pino Raya, Kabupaten Bengkulu Selatan yang biasanya sebagai lokasi dilakukan Tradisi Nundang Padi. (FOTO: Bela Wilianti)


Mengenakan kaos panjang merah jambu, Mardi tampak santai berkisah tentang asal-usul basua beniah, sebulan setelah pelaksanaan ritual adat di Desa Muara Dua.
 Alkisah, Sultan Hidayatullah Iskandar Zulkarnain yang merupakan anak dari Iskandar Zulkarnain memiliki keturunan yang menempati Minangkabau. 

Setelah memiliki keturunan, tiga putranya  diangkat sebagai raja di tiga wilayah. Meliputi, Raja Adat di Pulau Emas Pagaruyung dengan gelar Rajo Mangkoto Alam; raja di Tanah Ranum di sebelah kanan Pulau Emas dengan gelar Raja Mengintar Alam; dan Raja di Tanah Siam sebelah kiri Pulau Emas dengan gelar Raja Malinggang Alam

“Nah, Rajo Mangkoto Alam ini merantaulah ke Selali, lalu menikah dengan seorang putri Kerajaan Serawai,” kisah lelaki yang memiliki tiga orang anak itu. 

Selama perjalanan dari Pagaruyung, Raja Mangkoto Alam membawa beberapa barang berharga yang kemudian diwariskan kepada keturunannya. Diantaranya, cap Pagaruyung, tambo atau silsilah keluarga, dan berbagai jenis padi dari induk padi besar. Meliputi padi saleah, padi serasai, padi cina atau padi kuning, padi pulut, dan padi saleah kecil. 

Pada saat itu, benih yang dibawa masih sangat terbatas. Para raja-raja itu pun akhirnya melakukan musyawarah. Setelah ditemukan mufakat, maka dilaksanakanlah basuan beniah dan ngundang padi. 

“Maka, mufakat rajo-rajo itu prosesi utama yang harus ada dalam pelaksanaan basua beniah. Rajo-rajo ini seperti kepala desa, kepala dusun, dan lainnya,” tukasnya, dilanjutkan dengan mengajak mengunjungi makam Raja Mangkoto Alam.

Makam ini terletak di salah satu gang kecil Desa Selali. Makam yang cukup terawat, beratapkan genteng dengan tiang kayu kokoh yang dicat biru, serta dipagari semen yang tingginya selutut orang dewasa. 

Tapak penelusuran basua beniah dilanjutkan ke Desa Muara Dua yang baru melaksanakan ritual itu pada Juni 2024 lalu. Selama perjalanan, bentangan hutan menyanjung mata. Pepohonan nan hijau, sungai yang jernih.  

Terik mentari cukup mendukung. Kendaraan yang dibawa terhindar dari becek akibat hujan, sebab jalan yang dilewati masih belum beraspal. Memberi perlawanan, roda kendaraan yang melintas memantul-mantul akibat jalan yang cukup bergelombang, terjal, dan berkerikil. 

 Kurang dari satu jam, hamparan ladang tak terurus menyita perhatian. Di sanalah Desa Muara Dua. Sementara ladang tersebut adalah tanaman padi masyarakat yang gagal panen.

Beranjak dari hamparan padi yang sudah menguning itu, ikobengkulu.com memasuki dusun II Desa Muara Dua, yang merupakan lokasi dilakukannya ritual adat basua beniah sebulan lalu.

Kondisi lahan masyarakat Desa Muara Dua yang mengalami gagal panen akibat serangan hama.(FOTO: Bela Wilianti)

“Rezeki kami dari padi sangat-sangat menurun termasuk kualitasnya. Rasanya pahit,” keluh salah seorang petani, Padilian. Saat ditemui, ia  tampak sedang berbincang dengan istri dan menantu di teras rumahnya. 

Dialek yang digunakan masyarakat Desa Muara Dua mulai berbeda. Jika pada umunya masyarakat Seluma dan Bengkulu Selatan menggunakan dialek Serawai, di desa tersebut masyarakat sudah menggunakan dialek Pasemah. Sekilas dialek dari Bahasa melayu Bengkulu tersebut memang agak sama. 

Hanya saja, Serawai biasanya menggunakan akhiran “o atau au” seperti kata lima menjadi  limo dan limau, sementara dialek Pasemah menggunakan akhiran “e” menjadi lime.

Meski penglihatannya terganggu, ingatan kakek yang sudah berkepala enam itu mengenai keberadaan basua beniah dan ketahanan pangan di desanya masih tetap terjaga.  Menurutnya, bukan tanpa alasan ritual itu digelar kembali setelah ditinggalkan lebih dari setengah abad di Desa Muara Dua. Dari tahun ke tahun, hasil panen selalu merosot. 

Bahkan, di musim panen 2024 ini, tidak ada yang bisa dipanen. Bulir padi di lahannya yang juga dibantu oleh sang anak hampa. “Tidak ada yang berhasil panen tahun ini,” terangnya sembari menyilang jari seolah menampakkan kekecewaan.

Basua beniah, menurut Padilian menjadi senjata akhir untuk mempertahankan pangan di desanya. Pasalnya, banyak upaya sudah dilakukan, termasuk dengan mencoba berbagai macam pestisida tetapi sejenis walang sangit itu tak henti menggerogoti tanaman padi  mereka.Padi memanglah penghasilan utama masyarakat di Desa Muara Dua. 

Bahkan, luas lahan persawahan dahulunya mencapai 700-an hektare. Akan tetapi, akibat kegagalan panenan dan tren pasar ekonomi, beberapa masyarakat sudah mengalih fungsikan lahan mereka ke tanaman sawit. 

“Untuk lahan yang saya miliki hanya ada 1,5 hektare saat ini. Biasanya, dalam keadaan normal satu hektare itu bisa dapat 80-an karung,” kenangnya.

Mengenai pelaksanaan basua benih, menurut Padilian terakhir dilakukan sekitar tahun 1979. Di tahun tersebut, banyak masyarakat meninggalkan desa merantau ke daerah perkebunan. 

Setelah kembali lagi dan masuknya transmigrasi, tradisi tersebut tidak pernah dilakukan kembali.  Benih yang sudah di lakukan tradisi basua beniah itu, akan mulai dimanfaatkan pada musim tanam padi di penghujung 2024 ini.  

"Mudah-mudahan ke depan, setelah melaksanakan kembali tradisi ini, hasil panen membaik. Jangan sampai terulang kembali gagal total,” harapnya.


 

Halaman :

Terkini