Tiga Disiplin Ilmu, Unsur di Basua Beniah
Walau tampak sederhana, ternyata ritual adat basua benih mengemban tiga unsur disiplin ilmu. Hal ini diungkapkan oleh Praktisi dan Pengamat Pertanian, M. Rasyid.
Lelaki yang merupakan pensiunan Dinas Pertanian Kabupaten Seluma ini menjelaskan, ketiganya yakni ilmu budaya, ilmu iklim, dan ilmu pertanian.
Ilmu budaya yang dimaksud yakni menampilkan ciri khas keunikan lokal daerah. Seperti saat ritual adat digelar juga ditampilkan tarian-tarian khas Suku Serawai, meliputi Tari Andun dan Tari Numbak Kebau.
Sementara ilmu iklim berhubungan dengan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Ilmu ini berkaitan langsung dengan fenomena alam dan kearifan lokal agar musim tanam dilakukan di waktu yang tepat. Terakhir Ilmu Pertanian, dimulai dari seleksi benih, semai, panen hingga pasca panen.
“Melalui tradisi ini, saya mengakui kecerdasan nenek-nenek moyang zaman dahulu,” ungkap Rasyid saat ditemui di kafe miliknya, Kapitalis yang ada di daerah Tais, Kabupaten seluma, Jumat, 26 Juli 2024.
Ia menjelaskan, ritual adat basua beniah ini jika diselaraskan dengan fenomena alam memang sangat berkorelasi. Baik yang diakibatkan oleh faktor alam maupun cuaca ekstrem yang mengakibatkan kekeringan.
Untuk itulah, tradisi basua beniah memiliki keterikatan dengan kearifan lokal yang sangat kuat. Contohnya, banyak burung yang melakukan imigrasi dari laut ke gunung, yang menandakan akan datang musim hujan. Atau, banyak ikan di laut yang menepi, yang menandakan akan datang musim kemarau serta tanda-tanda alam lainnya.
“Nah, pada dasarnya basua beniah harus dikaitkan dengan tanda-tanda itu, yang biasanya akan dihubungkan dengan musim hujan,” terang pria umur 60 tahun ini.
Untuk itulah, biasanya pelaksanaan basua beniah dilakukan setelah masyarakat mengalami gagal panen. Baik karena kekeringan maupun serangan hama seperti tikus, walang sangit, wereng, dan lainnya.
Untuk penyeleksian benih, ia juga menjelaskan ada empat tahap yang tidak boleh ditinggalkan. Unsur tersebut juga harus terpenuhi untuk menghindari kegagalan panen akibat kualitas benih.
Pertama, padi yang ditanam dalam satu lahan harus seragam atau homogen. Jadi yang ditanam hanya satu jenis padi saja, hal itu untuk mempermudah penyerbukan. Selanjutnya, padi yang diseleksi harus benar-benar matang. Padi yang akan dijadikan bibit harus diambil lima langka dari pelang (pembatas).
“Karena kalau mengambil yang di dekat pelang dikhawatirkan terjadi penyerbukan silang dari varietas lain, sehingga tidak murni,” ungkapnya.
Setelahnya, calon benih yang sudah terkumpul harus dikeringkan terlebih dahulu dengan kadar air 13 persen. Jika dilakukan secara tradisional, harus dijemur selama dua hari. Lalu digigit untuk mengetahui kadar airnya. Jika sudah patah keras, maka dianggap sudah mencapai 13 persen.
Setelah kering, calon benih yang sudah didapatkan harus direndam dengan air garam dengan komposisi dua persen dari berat benih. Dengan begitu, calon benih yang tidak bagus akan mengapung. Barulah direndam dengan air mengalir selama 24 jam. Setelah berkecambah, baru benih-benih tersebut disemai di lahan yang sudah disiapkan.
Tradisi basua beniah ini menurun Rasyid sangat bersifat sakral dan secara turun temurun diyakini membawa berkah, maka harus tetap dijaga dan dilestarikan. Sementara saat ini, tradisi tersebut mulai ditinggalkan masyarakat.
“Maka itu tradisi ini diharapkan dapat digalakkan kembali, yang sifatnya sakral, memohon doa kepada tuhan, gagal panen, dan kekurangan pangan bisa teratasi,” demikian Rasyid.
.jpg)
12.764 Hektare Lahan Persawahan di Seluma Alih Fungsi
Dinas Pertanian Kabupaten Seluma mencatat 12,764 hektare lahan persawahan sudah mengalami alih fungsi selama 5 tahun berturut-turut. Bahkan, hilangnya lahan persawahan tertinggi terjadi di tahun 2021, mencapai 6.138. Jika sebelumnya luas lahan persawahan di tahun 2020 tercatat 21.679 hektare menjadi di tahun 2021 menjadi 15.541 hektare.
Merosotnya lahan pertanian terjadi kembali di tahun 2023 lalu, mencapai 5.075 hektare. Dari semula di tahun 2022 sebanyak 13.986 hektare, di tahun 2021 menjadi 8.911 hektare. Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Seluma, Arian Sosial, S.P., M.Si., menjelaskan salah satu faktor penyebab hilangnya lahan pertanian yakni terjadinya gagal panen.
Hal tersebut memang marak terjadi, seperti di Desa Muara Dua yang melakukan ritual adat basua beniah baru-baru ini. Secara garis besar, Arian menjelaskan terdapat tiga faktor penyebab alih fungsi lahan yang terjadi di Seluma.
Meliputi, tren pasar ekonomis masyarakat banyak beralih ke komoditi perkebunan karena menganggap perkebunan lebih menjanjikan secara pendapatan ekonomi. Terlebih masyarakat yang mengalami gagal panen secara terus menerus.
Pengaruh sistem infrastruktur, irigasi yang rusak atau mungkin belum ada pengairan Teknik juga sangat mempengaruhi. Serta, pemahaman sumber Daya Masyarakat (SDM) yang tidak melihat aspek jangka panjang dan prospek ke depan seperti apa. “Jadi, secara menyeluruh adai 3 variabel yang mempengaruhi alih fungsi lahan ini,” jelas Arian.

Hilangnya lahan persawahan menyebabkan luas panen yang juga menurun. Bahkan, selama 5 tahun ini sudah berkurang 10.581 hektare. Dari semula 21.248 hektare di tahun 2019, menjadi 11.767 hektare di tahun 2023.
Berkurangnya luas panen tertinggi, juga terjadi di tahun 2020 mencapai 4.947 hektare. Dari semula 21.248 hektare menjadi 15.301 hektare.
Meski luas lahan persawahan berkurang, produktivitas padi di Seluma masih cukup fluktuatif selama 5 tahun ini. Hal ini dikarenakan, jika dahulu para petani padi hanya menanam padi 2 kali setahun. Saat ini menanam hingga 3 kali setahun.
Di tahun 2019 produksi padi di Seluma tercatat 61.176 ton mengalami penurunan yang cukup signifikan di tahun berikutnya yakni menjadi 31.675 ton. Di tahun 2021, produksi padi di Seluma sedikit naik menjadi 32.697 ton.
Kenaikan produksi cukup signifikan di tahun 2022, bahkan hingga 64.271 ton. Sedangkan di tahun 2023 ini, sedikit kembali menurun menjadi 63.804 ton.
Selama ini, diakui Arian, Seluma memang menjadi penyuplai bahan pangan padi terbesar di Provinsi Bengkulu setelah Bengkulu Selatan, baik dari segi produksi maupun luas lahannya. Namun, seiring dengan berjalannya waktu banyak lahan yang tadinya merupakan komoditi pangan beralih menjadi komoditi perkebunan.
Untuk itu, ia memberikan imbauan kepada masyarakat, khususnya di Kabupaten Seluma untuk tetap mempertahankan lahan persawahan yang ada saat ini. Bahkan jika memungkinkan, ia meminta lahan yang sudah beralih fungsi itu kembali dimanfaatkan sebagai lahan persawahan.
“Yakinlah, tanaman pangan itu adalah urusan perut dan termasuk salah satu ke stabilitas negara untuk menjaga NKR,” ucapnya.
Melihat alih fungsi lahan yang makin hari makin marak terjadi, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Seluma menetapkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 04 tahun 2023 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B).