BENGKULU — Geliat pariwisata wahana air (waterpark) di Kota Bengkulu dan Bengkulu Tengah memang menawarkan hiburan bagi ribuan pengunjung. Namun, sebuah riset terbaru dari Universitas Bengkulu (UNIB) menyingkap sisi lain yang jarang terekspos: nasib para pekerjanya yang masih terjebak dalam kerentanan ekonomi.
Penelitian yang dilakukan oleh Mufi Ramadhani, mahasiswi Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UNIB ini menyoroti realitas pekerja sektor informal—mulai dari penjaga wahana, petugas kebersihan, hingga penjaga tiket—yang memikul beban berat di tengah pendapatan yang tak pasti.
Gaji Mengikuti Cuaca dan Musim

Hasil riset mengonfirmasi bahwa sektor pariwisata memang membuka keran lapangan kerja bagi warga lokal. Namun, kualitas pekerjaannya menjadi sorotan. Sebagian besar pekerja menghadapi ketidakpastian pendapatan yang sangat bergantung pada jumlah pengunjung.
"Jika pengunjung sepi, pendapatan mereka tergerus. Ini menciptakan pola pendapatan fluktuatif yang membuat perencanaan ekonomi keluarga menjadi sulit," ungkap temuan dalam riset tersebut.
Fakta di lapangan menunjukkan, meski mayoritas responden mengaku masih mampu memenuhi kebutuhan makan sehari-hari (kebutuhan pokok), kemampuan mereka untuk menabung nyaris nol. Mereka tidak memiliki dana darurat untuk menghadapi situasi krisis, seperti sakit mendadak atau kebutuhan sekolah anak.
Strategi Bertahan Hidup
Penelitian ini juga membedah bagaimana para pekerja ini bertahan. Tanpa jaminan pendapatan tetap, ketahanan ekonomi keluarga pekerja informal jauh lebih rapuh dibandingkan mereka yang memiliki pekerjaan tetap.
Strategi bertahan hidup yang paling umum ditemukan adalah "pengencangan ikat pinggang" alias pengeluaran yang sangat selektif. Selain itu, banyak pekerja yang terpaksa bergantung pada dukungan finansial dari anggota keluarga lain (jaring pengaman sosial informal) karena minimnya akses terhadap pekerjaan sampingan.
Alarm bagi Kebijakan Pariwisata
Dari perspektif Sosiologi Pariwisata, temuan ini menjadi alarm bagi pemerintah daerah. Pariwisata tidak hanya menghadirkan peluang ekonomi, tetapi juga berpotensi menciptakan "kerentanan baru" jika tidak dikelola dengan kebijakan yang memihak pekerja.
Ketergantungan pada sektor wisata tanpa perlindungan sosial atau jaminan pendapatan yang memadai, justru berisiko memperlemah ketahanan ekonomi masyarakat lokal dalam jangka panjang.
Riset ini merekomendasikan perlunya intervensi kebijakan agar "kue" pariwisata bisa dinikmati secara adil, bukan hanya oleh pemilik modal, tetapi juga oleh mereka yang bekerja keras di lapangan. ***