Produktivitas dan Marwah Penulis

Kamis, 25 Desember 2025 | 09:54:41 WIB

Oleh: Muhammad Aufal Fresky

Produktivitas penulis bukan suatu hal yang musykil untuk ditelaah, dipelajari, dan bahkan dipreteli hingga akar-akarnya. Setiap penulis, mulai dari kelas dusun hingga internasional, saya kira memiliki corak dan gaya yang sukar untuk diseragamkan. Isi kepalanya saja beda, apalagi karya-karyanya. Termasuk cara menghidangkannya kepada para pembaca. 

Di Indonesia ini, banyak sekali penulis prolifik, yang produktivitasnya barangkali di atas rata-rata penulis pada umumnya. Yang mungkin, bagi sebagian orang, akan membuat geleng-geleng kepala, bisa-bisanya menulis dengan cepat, tangkas, dan isinya pun bergizi. 

Hal tersebut, tentu saja bukan sebuah keajaiban. Bukan karena faktor bawaan atau bakat alami. Ada daya tahan dan mentalitas yang menyertari proses kreatif para penulis tangkas tersebut. Beberapa di antara mereka yang saya pribadi kerap kali membaca karya-karyanya yaitu Emha Ainun Nadjib, Mahbub Djunaedi, dan Abdurrahman Wahid. Selain ketiga sosok tersebut, tentu saja masih banyak penulis-penulis ulung lainnya.

Pastinya kita pun penasaran dan bertanya-tanya, apa resep ampuh, apa kiat jitunya, agar bisa menulis seproduktif mereka? Pertanyaan ini pun sempat mengusik alam pikiran saya sendiri. Usut punya usut, jika boleh mengambil benang merah kenapa sosok-sosok yang saya sebutkan tadi sangat produktif, salah satunya adalah tekun alias sregep. 

Selain itu, mereka semua adalah tokoh yang memang memiliki senisivitas sosial yang sangat tinggi. Baik Gus Dur, Cak Nun, maupun Mahbub, adalah pendekar-pendekat pena, yang mungkin sukar dicari penggantinya. Baik dari segi kualtias maupun gaya bahasnya. Mungkin, selama ini, yang sering kita dengar dan baca di berbagai portal, pendekat pena itu tertuju pada sosok bernama Mahbub Djunaedi. 

Ya, saya pun tidak menyangkalnya. Tapi, jika boleh ditambahkan lagi, Gus Dur dan Cak Nun, ini juga pendekar pena. Yang gaya menulisnya pun sangat out of the box, pemikirannya menebos zaman, membuat kita tersadarkan dan tercerahkan.

 Ketiganya adalah kolumnis tetap di berbagai media massa pada zamannya. Dan jika ditarik persamaannya, ketiganya ini kerap kali menyisipkan unsur jenaka/humor dalam setiap esai-esai atau opini-opininya. Hal itulah yang membuat para pembaca begitu tertarik untuk melahap sampai habis buah pemikiran ketiga begawan tadi. 

Selain itu, persamaan lainnya adalah konsistensinya dalam memperjuangkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Lewat tulisan-tulisannya, mereka bersuara lantang melawan kesewenang-wenangan, kezaliman, keserakahan, dan kemunikafikan yang dilakukan olah individu/kelompok tertentu. Dengan menulis, Cak Nun, Mahbub, dan Gus Dur benar-benar menunjukkan keberpihakannya pada nasib wong cilik. Idealisme mereka tidak bisa digadaikan oleh tawarkan harta dan jabatan. 

Artinya tidak ada satu pihak mana pun yang bisa mempengaruhi perjuangannya. Sebab, bagi mereka, sepertinya menulis menjadi salah satu sarana untuk mendharmabaktikan diri untuk agama, nusa, dan bangsa. Ada nilai-nilai yang hendak diperjuangkan lewat catatan-catatan mereka. Bukan sekadar menulis untuk mendapatkan honor dan memperoleh popularitas. 

Ada dorongan batiniah yang tidak bisa dielakkan. Dorongan untuk menyuarakan kebenaran. Dorongan untuk memperokoh persatuan, menjaga perdamaian. Dorongan untuk beramar ma’ruf dan nahi munkar.  ***

Terkini