Warga Bengkulu Diduga Korban Human Trafficking Meninggal Dunia di Jepang, Keluarga Butuh Uluran Tangan untuk Pemulangan Jenazah

Sabtu, 08 November 2025 | 22:19:03 WIB

JEPANG - Kabar duka datang dari Jepang. Seorang warga asal Desa Kampai, Kecamatan Talo, Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu, bernama Adellia Meysa (23), meninggal dunia setelah sempat dirawat selama tujuh hari di Seinan Medical Center Hospital, Prefektur Ibaraki, Jepang.

Gadis kelahiran 4 Mei 2002 ini meninggal dunia akibat meningitis tuberkulosis (TB) — peradangan pada selaput otak dan saraf tulang belakang akibat infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis.

Sejak dirawat pada Jumat (31/10), kondisi Adellia sempat naik turun. Ia sempat tidak sadarkan diri di ruang ICU, kemudian berangsur membaik. Namun, pada Jumat, 7 November 2025 pukul 12.35 JST (10.35 WIB) kondisinya kembali menurun, hingga akhirnya dinyatakan meninggal dunia pada pukul 14.45 JST (12.45 WIB).

Ketua Ikatan Keluarga Bengkulu di Jepang (IKBJ), Andri Santoso, Sabtu (8/11/2025), menyampaikan rasa duka mendalam atas meninggalnya Adellia.

“Kami turut berbelasungkawa yang sedalam-dalamnya atas kepergian almarhumah. Kami juga telah berkoordinasi dengan pihak keluarga di Bengkulu terkait langkah-langkah pemulangan jenazah ke Indonesia,” ujar Andri.

Ia menjelaskan, saat ini jenazah sudah dibawa dari Ibaraki ke Tokyo dengan bantuan KBRI Tokyo, dan tengah dipersiapkan dokumen serta administrasi pemulangan ke tanah air. Adellia rencananya akan dimakamkan di kampung halamannya di Desa Kampai, Seluma, Bengkulu.

Namun, di balik kabar duka ini, terdapat kisah memilukan. Berdasarkan penelusuran IKBJ, Adellia diduga menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) atau human trafficking. Ia berangkat ke Jepang melalui salah satu Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) Bahasa Jepang di Kabupaten Garut, Jawa Barat, sekitar tiga tahun lalu.

“Mereka dijanjikan pekerjaan di Jepang, tapi tidak melalui prosedur resmi. Setelah tujuh bulan pelatihan, mereka diberangkatkan dengan visa kunjungan (Tanki Taizai) selama tiga bulan, dengan janji akan diganti menjadi visa kerja setelah sampai di Jepang. Namun janji itu tidak pernah terealisasi,” ungkap Andri.

Para korban bahkan telah mengeluarkan biaya besar — sekitar Rp70 juta lebih — untuk berangkat ke Jepang, belum termasuk biaya pelatihan dan kebutuhan hidup. Sebagian besar uang itu diperoleh dengan cara berutang atau menjual aset keluarga.

Setelah masa visa habis, Adellia berstatus overstay dan bekerja tanpa izin demi bertahan hidup. Saat jatuh sakit, ia tidak memiliki asuransi kesehatan sehingga seluruh biaya perawatan ditanggung pribadi.

Menurut data IKBJ, tagihan rumah sakit hingga 5 November 2025 mencapai ¥900.000 (sekitar Rp99 juta), di mana Rp50 juta telah dibayarkan. Ditambah biaya tambahan medis, penyimpanan jenazah, serta biaya pemulangan sekitar ¥800.000 (Rp88 juta), total kebutuhan diperkirakan mencapai lebih dari Rp200 juta.

“Keluarga sudah berusaha semampunya, tapi biaya yang dibutuhkan sangat besar. Karena itu, kami mengajak masyarakat, diaspora, dan pemerintah untuk bersama-sama membantu meringankan beban keluarga,” jelas Andri.

IKBJ membuka donasi untuk membantu proses pemulangan jenazah Adellia Meysa ke Bengkulu. Bantuan dapat disalurkan melalui:

???? BRI

No. Rekening: 5691 0101 9758 535

a.n. Lesti Atika

???? DANA (E-Wallet)

No: 0856-0943-9094

a.n. Haja Intan Soleha

"Sebagai sesama umat Muslim, melaksanakan fardhu kifayah bagi jenazah adalah kewajiban kita bersama. Kami atas nama keluarga besar IKBJ dan ahli musibah mengucapkan terima kasih atas semua doa, dukungan, dan bantuan yang diberikan. Semoga almarhumah mendapat tempat terbaik di sisi Allah SWT,” tutup Andri.

Terkini