Dari Rafflesia ke Merah Putih, Langkah Maju atau Kehilangan Jejak Sejarah?

Minggu, 09 Februari 2025 | 20:41:13 WIB

(Oleh Yori Manis Tika, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Ratu Samban) - Perubahan julukan Provinsi Bengkulu dari "Bumi Rafflesia" menjadi "Bumi Merah Putih" adalah sebuah wacana yang menarik untuk dikaji secara mendalam, baik dari sisi historis, filosofis, maupun akademis. 

Julukan "Bumi Rafflesia" sendiri telah melekat pada Bengkulu selama puluhan tahun, merujuk pada bunga Rafflesia arnoldii, yang pertama kali ditemukan di wilayah ini pada tahun 1818 oleh Sir Thomas Stamford Raffles, seorang administrator kolonial Inggris, dan Joseph Arnold, seorang ahli botani. Bunga ini menjadi ikon Bengkulu karena keunikan dan kelangkaannya, sekaligus menjadi simbol kekayaan alam provinsi ini. Namun, dibalik keindahan dan keunikan Rafflesia, nama tersebut membawa jejak kolonialisme yang tidak bisa diabaikan. 

Sir Thomas Stamford Raffles adalah figur yang erat kaitannya dengan pendudukan Inggris di Nusantara, dan penggunaan namanya dalam julukan Bengkulu secara tidak langsung mengabadikan warisan kolonial. Hal ini menimbulkan pertanyaan filosofis: apakah kita masih terjebak dalam mentalitas terjajah dengan mempertahankan nama yang merujuk pada figur kolonial?

Dari perspektif dekolonisasi, menghapus nama-nama yang terkait dengan kolonialisme sering dianggap sebagai langkah penting untuk membangun identitas yang lebih mandiri dan merdeka. Namun disisi lain, Rafflesia telah menjadi bagian dari identitas Bengkulu yang diakui secara internasional. Bunga ini tidak hanya menjadi simbol kekayaan alam, tetapi juga daya tarik pariwisata yang signifikan.

Menghapus nama "Bumi Rafflesia" bisa dianggap sebagai upaya memutus hubungan dengan sejarah, sekaligus berpotensi mengurangi daya tarik pariwisata yang telah dibangun selama ini. Disinilah muncul dilema: Apakah kita harus sepenuhnya meninggalkan warisan kolonial, ataukah kita bisa memaknai ulang sebagai bagian dari sejarah yang membentuk identitas kita hari ini?

Rencana perubahan julukan menjadi "Bumi Merah Putih" perlu dilihat dalam konteks yang lebih luas, yaitu upaya membangun identitas nasional yang lebih kuat dan independen. Merah Putih adalah simbol nasional Indonesia yang melambangkan persatuan, keberanian, dan kemerdekaan. Dengan mengadopsi julukan ini, Bengkulu ingin menegaskan komitmennya terhadap nilai-nilai kebangsaan dan kemandirian. Namun, pertanyaannya adalah apakah perubahan ini benar-benar diperlukan? Ataukah hanya sekadar upaya simbolis yang tidak menyentuh akar persoalan pembangunan masyarakat Bengkulu. Apakah perubahan nama akan membawa dampak nyata bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, ataukah hanya menjadi lip service yang tidak memiliki makna substantif?

Secara historis, julukan "Bumi Merah Putih" memiliki akar yang kuat dalam konteks perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bengkulu memiliki sejarah perlawanan terhadap penjajahan yang patut dibanggakan. Salah satu momen penting dalam sejarah Bengkulu adalah pengasingan Bung Karno, presiden pertama Indonesia yang menghabiskan empat tahun (1938-1942) di provinsi ini. Selama masa pengasingannya, Bung Karno aktif menyebarkan semangat nasionalisme yang menjadi salah satu fondasi perjuangan kemerdekaan. Dengan demikian, julukan "Bumi Merah Putih" dapat dipandang sebagai penghormatan terhadap sejarah perjuangan dan kontribusi Bengkulu dalam membangun identitas nasional. Namun, apakah perubahan julukan ini akan diikuti dengan langkah-langkah konkret yang mendukung pembangunan masyarakat, ataukah hanya akan menjadi simbol belaka?

Dari perspektif akademis, perubahan julukan ini harus dilihat sebagai bagian dari proses konstruksi identitas yang dinamis. Identitas bukanlah sesuatu yang statis, melainkan terus berkembang seiring dengan perubahan zaman. Namun, penting untuk mempertanyakan apakah perubahan ini didasarkan pada kebutuhan masyarakat atau hanya kepentingan politik sesaat.

Kajian akademis harus menekankan pentingnya melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, termasuk melalui diskusi publik dan kajian mendalam tentang dampak perubahan ini terhadap identitas dan citra Bengkulu. Tanpa partisipasi masyarakat, perubahan julukan ini berisiko menjadi keputusan yang elitis dan tidak menyentuh kebutuhan riil masyarakat.

Selain itu, perubahan julukan ini juga harus dilihat dalam konteks yang lebih luas, yaitu upaya membangun identitas yang inklusif dan berkelanjutan. Identitas tidak hanya tentang simbol-simbol, tetapi juga tentang nilai-nilai yang dipegang oleh masyarakat. Jika "Bumi Merah Putih" ingin menjadi julukan baru Bengkulu, maka nilai-nilai yang terkandung dalam simbol tersebut—seperti persatuan, keadilan, dan kemandirian—harus tercermin dalam kebijakan pembangunan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Tanpa itu, perubahan julukan hanya akan menjadi lip service yang tidak memiliki makna substantif.

Untuk mencapai titik temu, pemerintah daerah perlu mempertimbangkan pendekatan yang seimbang. Alih-alih menghapus sepenuhnya julukan "Bumi Rafflesia", pemerintah dapat mempertahankannya sebagai bagian dari identitas alam Bengkulu, sambil mengadopsi "Bumi Merah Putih" sebagai simbol komitmen terhadap nilai-nilai kebangsaan. Dengan demikian, Bengkulu dapat menghormati sejarahnya sekaligus menegaskan identitas nasional yang progresif. Pendekatan ini juga memungkinkan Bengkulu untuk mempertahankan daya tarik pariwisata yang telah dibangun selama ini, sambil memperkuat identitas nasionalnya.

Pada akhirnya, perubahan julukan dari "Bumi Rafflesia" menjadi "Bumi Merah Putih" adalah langkah simbolis yang memiliki potensi untuk memperkuat identitas nasional Bengkulu. Namun, langkah ini harus didukung oleh kebijakan yang substansial dan partisipasi masyarakat. Sejarah kolonial dan perjuangan kemerdekaan harus dipahami sebagai bagian dari proses pembentukan identitas yang dinamis, bukan sebagai beban yang harus dihapus sepenuhnya. Dengan pendekatan yang seimbang, Bengkulu dapat membangun identitas yang menghormati masa lalunya sekaligus menatap masa depan dengan optimisme. 

Terkini