Provinsi Bengkulu dengan sektor ekonomi yang didominasi oleh perkebunan dan pertanian, memiliki potensi besar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Namun, potensi ini hanya dapat direalisasikan jika anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) dikelola secara efisien dan progresif.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bengkulu tahun 2023, kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB mencapai 27,5%, sementara sektor perkebunan terutama kelapa sawit dan karet menyumbang sekitar 18%. Meski demikian, pertumbuhan ekonomi Bengkulu masih tergolong lambat hanya sekitar 4,8% per tahun, dibawah rata-rata nasional. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan APBD selama ini belum optimal dalam mendorong transformasi ekonomi.
Efisiensi APBD harus menjadi prioritas utama bagi kepala daerah yang akan dilantik pada 6 Februari mendatang. Pertama, belanja yang tidak produktif dan tidak berkontribusi langsung terhadap peningkatan ekonomi masyarakat harus dipangkas. Misalnya, belanja untuk kegiatan seremonial, studi banding, atau proyek infrastruktur yang tidak mendesak perlu dikurangi. Data dari Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa belanja modal di Bengkulu hanya mencapai 20% dari total APBD, sementara belanja rutin seperti gaji pegawai dan operasional kantor menghabiskan lebih dari 60%. Padahal, belanja modal seharusnya menjadi prioritas untuk membangun infrastruktur pendukung sektor pertanian dan perkebunan, seperti irigasi, jalan desa, dan fasilitas pengolahan hasil pertanian.
Kedua, kepala daerah perlu menerapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan APBD. Menurut Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2022, Bengkulu berada di peringkat 22 dari 34 provinsi, dengan skor 52 dari 100. Ini menunjukkan bahwa praktik korupsi dan inefisiensi masih menjadi masalah serius. Untuk mengatasi hal ini, kepala daerah harus membuka akses seluas-luasnya kepada masyarakat untuk memantau penggunaan APBD melalui platform digital. Selain itu, perlu dibentuk tim pengawas independen yang terdiri dari akademisi, aktivis, dan perwakilan masyarakat untuk memastikan setiap rupiah APBD digunakan secara tepat sasaran.
Ketiga, kepala daerah harus fokus pada program-program yang memiliki dampak langsung terhadap peningkatan produktivitas sektor pertanian dan perkebunan. Misalnya alokasi anggaran untuk pelatihan petani, penyediaan bibit unggul, dan pembangunan pusat pengolahan hasil pertanian harus ditingkatkan. Data dari Dinas Pertanian Provinsi Bengkulu menunjukkan bahwa 70% petani di provinsi ini masih menggunakan metode tradisional, yang berdampak pada rendahnya produktivitas. Dengan mengalokasikan anggaran untuk modernisasi pertanian, diharapkan dalam 4 hingga 5 tahun kedepan, produktivitas sektor pertanian dapat meningkat signifikan.
Keempat, kepala daerah perlu membangun komunikasi yang efektif dengan seluruh pemangku kepentingan, termasuk DPRD, aparatur sipil negara (ASN), dan masyarakat. Prinsip komunikasi yang harus diterapkan adalah transparansi, partisipasi, dan konsistensi. Misalnya, kepala daerah dapat mengadakan forum publik secara rutin untuk menjelaskan visi, misi, dan langkah strategis dalam mengefisiensikan APBD. Dengan melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, diharapkan tidak akan muncul gejolak yang tidak perlu.
Kelima, kepala daerah harus memastikan bahwa setiap program yang dijalankan memiliki indikator kinerja yang jelas dan terukur. Misalnya, jika anggaran dialokasikan untuk pembangunan irigasi, maka harus ada target berapa hektar lahan pertanian yang akan teraliri air dalam waktu tertentu. Dengan demikian, masyarakat dapat melihat langsung manfaat dari penggunaan APBD. Data dari Bappenas menunjukkan bahwa program dengan indikator kinerja yang jelas memiliki tingkat keberhasilan 30% lebih tinggi dibandingkan program yang tidak memiliki indikator.
Keenam, kepala daerah perlu memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan APBD. Misalnya, dengan menggunakan sistem e-budgeting, e-procurement, dan e-monitoring, proses perencanaan, pengadaan, dan pelaksanaan proyek dapat dilakukan secara lebih transparan dan akuntabel. Selain itu, teknologi juga dapat digunakan untuk memantau realisasi anggaran secara real-time, sehingga setiap penyimpangan dapat segera diidentifikasi dan dikoreksi.
Ketujuh, kepala daerah harus memprioritaskan program yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Misalnya, alokasi anggaran untuk pengembangan pertanian organik dan perkebunan berkelanjutan harus ditingkatkan. Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan bahwa lahan kritis di Bengkulu mencapai 15% dari total luas wilayah. Dengan mengalokasikan anggaran untuk rehabilitasi lahan dan pengembangan pertanian ramah lingkungan, diharapkan dapat meningkatkan produktivitas sekaligus menjaga kelestarian lingkungan.
Terakhir, kepala daerah harus memastikan bahwa efisiensi APBD tidak mengurangi kualitas pelayanan publik. Misalnya, meskipun belanja rutin perlu dikontrol, anggaran untuk kesehatan, pendidikan, dan perlindungan sosial harus tetap dipertahankan atau bahkan ditingkatkan. Data dari BPS menunjukkan bahwa Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Bengkulu masih berada di peringkat 28 dari 34 provinsi, dengan skor 68,5. Dengan mempertahankan alokasi anggaran untuk sektor-sektor strategis ini, diharapkan kualitas hidup masyarakat Bengkulu dapat meningkat secara signifikan.
Dengan menerapkan langkah-langkah diatas, kepala daerah yang baru dapat memastikan bahwa APBD digunakan secara efisien dan efektif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat Bengkulu. Dalam waktu 4 hingga 5 tahun, diharapkan provinsi ini dapat menjadi contoh keberhasilan pengelolaan anggaran daerah yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat. (Oleh Alif Prihantoro, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Ratu Samban)