KLHK Dinilai Lindungi Ketidakpatuhan Lingkungan PLTU Bengkulu, Warga Alami Dampak Kesehatan

Selasa, 24 September 2024 | 20:43:57 WIB
seminar yang digelar oleh Kanopi Hijau Indonesia bertajuk "Peran dan Partisipasi Para Pihak dalam Pemantauan dan Pengaduan Ketidakpatuhan Korporasi", Selasa (24/9). (FOTO: YUSUF)

IKOBENGKULU.COM – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dinilai melindungi ketidakpatuhan PT Tenaga Listrik Bengkulu (TLB), pengelola Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara, dalam pengelolaan lingkungan. Meskipun telah menerima empat kali sanksi administrasi, PT TLB belum menunjukkan perbaikan berarti dalam kepatuhan terhadap regulasi lingkungan.

"Sudah empat kali diadukan oleh warga dan menerima sanksi administrasi, tapi tidak ada perubahan signifikan dalam pengelolaan lingkungan. Mereka tetap tidak patuh," ujar Fahmi Arisandi, akademisi Universitas Muhammadiyah Bengkulu, saat seminar yang digelar oleh Kanopi Hijau Indonesia bertajuk "Peran dan Partisipasi Para Pihak dalam Pemantauan dan Pengaduan Ketidakpatuhan Korporasi", Selasa (24/9).

Fahmi menekankan bahwa lingkungan yang sehat adalah hak asasi manusia yang harus dijamin oleh negara tanpa perlu menunggu pengaduan atau gugatan.

Ali Akbar, Ketua Kanopi Hijau Indonesia, menjelaskan hasil pemantauan dan pengaduan terkait PLTU Bengkulu yang telah dijatuhi sanksi oleh KLHK sebanyak empat kali. Kasus pertama terjadi pada April 2020, terkait pembuangan limbah air bahang tanpa izin di Pantai Teluk Sepang. Kasus kedua, pada November 2020, berkaitan dengan pembuangan air berbau menyengat ke laut.

Pengaduan ketiga terjadi pada Agustus 2022, saat kolam air bahang PLTU jebol. Terakhir, pada Maret 2023, warga melaporkan pembuangan limbah Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) di Taman Wisata Alam (TWA) Pantai Panjang-Pulau Baai.

"Anehnya, KLHK tidak memberikan salinan dokumen sanksi administrasi kepada warga yang melapor, meskipun sanksi sudah diberikan kepada PT TLB," kata Ali Akbar.

Meski sudah mendapat sanksi, pelanggaran tersebut masih berlangsung hingga sekarang. Akibat ketidakpatuhan ini, warga Teluk Sepang mulai merasakan dampak buruk terhadap kesehatan dan ekonomi.

Riset menunjukkan bahwa 85 warga telah mengeluarkan biaya pengobatan sekitar Rp36 juta akibat dampak lingkungan yang buruk. Nelayan lokal juga mengalami penurunan hasil tangkapan, memaksa mereka berlayar lebih jauh dan mengeluarkan biaya bahan bakar yang lebih besar.

Lovi, tokoh masyarakat dari Kelurahan Teluk Sepang, menyoroti ketidakjelasan sikap pemerintah terhadap penegakan hukum lingkungan di PLTU.

"Abu FABA yang diberikan sebagai bahan timbunan kepada warga sebenarnya adalah bahan beracun. Ini sangat berbahaya bagi kesehatan masyarakat, terutama anak-anak yang setiap hari terpapar polusi," tegas Lovi.

Situasi serupa juga terjadi di PLTU Ombilin, Sumatera Barat. Adrizal, advokat dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang, mengungkap bahwa PLTU tersebut telah menerima sanksi tiga kali, namun tidak ada tindakan lanjut dari KLHK.

"Akibat pengelolaan lingkungan yang buruk, 66 persen murid kelas 6 SDN 19 Sijantang di sekitar PLTU Ombilin menderita penyakit paru seperti bronkitis kronis dan TB," tambah Adrizal, merujuk pada data Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tahun 2017. 

Ketidakpatuhan PLTU Bengkulu dan Ombilin terus menjadi perhatian berbagai pihak, terutama terkait dampaknya terhadap kesehatan dan keberlanjutan lingkungan. ***

Terkini