Ratusan Mahasiswa Universitas Bengkulu Melakukan Aksi di DPRD Provinsi, Minta Putusan MK Dipatuhi

Rabu, 21 Agustus 2024 | 22:00:17 WIB
Mahasiswa Universitas Bengkulu menggelar unjuk rasa di depan gedung DPRD Provinsi Bengkulu, menolak penolakan Putusan MK oleh DPR (FOTO: DOK)

IKOBENGKULU.COM - Ratusan mahasiswa Universitas Bengkulu menggelar aksi unjuk rasa di depan gedung DPRD Provinsi Bengkulu pada Rabu (21/8/2024).

Aksi yang dimulai pukul 17.00 WIB ini merupakan bentuk protes keras terhadap keputusan DPR RI yang menolak Putusan Mahkamah Konstitusi No.60/PUU-XXII/2024.

Para mahasiswa menyuarakan kekhawatiran mereka bahwa jika putusan MK diabaikan, maka prinsip-prinsip demokrasi akan terancam mati.

Dalam orasi yang dilakukan, mahasiswa menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi adalah lembaga hukum tertinggi yang harus dihormati.

Mereka juga mengkritik DPR dan pemerintah yang dianggap mengabaikan putusan MK, menilai bahwa hal tersebut merupakan pelecehan terhadap demokrasi.

"Saat putusan hukum MK diacuhkan oleh DPR dan istana, maka dapat dikatakan demokrasi telah mati," ujar salah satu mahasiswa dalam orasinya.

Selama aksi berlangsung, mahasiswa juga memasang spanduk besar di pintu masuk gedung DPRD bertuliskan "Kawal Putusan MK" sebagai bentuk perlawanan terhadap tindakan DPR.

Ratusan mahasiswa sempat mencoba memasuki gedung DPRD, namun dihalau oleh petugas kepolisian yang berjaga. Setelah menyampaikan aspirasi mereka, para mahasiswa akhirnya membubarkan diri sekitar pukul 19.45 WIB.

Presiden Mahasiswa Universitas Bengkulu, Ridhoan Parlaungan Hutasuhut, menegaskan bahwa aksi ini merupakan langkah awal dari serangkaian aksi yang akan digelar dengan massa yang lebih besar.

"Insiden ini membunuh demokrasi, dan kami akan berada di garis depan untuk mengawal isu ini. Demokratisasi harus ditegakkan, tidak bisa ada kompromi," tegas Ridhoan.

Ridhoan juga menyerukan kepada seluruh kampus di Indonesia untuk turut bergerak dan melawan tindakan yang dianggap dapat membahayakan demokrasi. "Mari semua kampus di tanah air untuk bergerak. Perkara ini tak bisa didiamkan karena ini membunuh demokrasi," tambahnya.

Latar belakang aksi ini terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah melalui Putusan No. 60/PUU-XXII/2024.

Putusan ini menghapuskan ambang batas (threshold) pencalonan kepala daerah sebesar 25 persen perolehan suara partai politik atau 20 persen kursi DPRD, dan menyamakannya dengan threshold calon independen.

Namun, DPR dan pemerintah segera merespons dengan menggelar rapat untuk merevisi UU Pilkada, yang dinilai oleh mahasiswa sebagai bentuk pelecehan terhadap putusan MK.

Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Achmad Baidowi, menyatakan bahwa revisi UU Pilkada dilakukan untuk mengakomodasi putusan MK dan memastikan partai nonparlemen dapat mengusung calon kepala daerah.

Namun, langkah ini menuai kritik dari berbagai kalangan, termasuk mahasiswa yang menilai revisi tersebut tidak sesuai dengan semangat demokrasi dan justru memperburuk situasi politik di Indonesia.***

Terkini