"Tan Malaka, di Persimpangan Ideologi"

Senin, 29 Juli 2024 | 11:16:20 WIB

Oleh Yori Manis Tika, M.IKom - Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka atau yang dikenal dengan nama Tan Malaka lahir di Pandan Gadang, Nagari Suliki Kabupaten Limapuluh Kota Sumatera Barat pada tanggal 2 Juni 1897. Ia adalah anak dari pasangan Rasad Caniago dan Sinah Sinabur. Tan Malaka merupakan tamatan Kweekschool atau Sekolah Keguruan (IKIP) Bukit Tinggi pada umur 16 tahun di tahun 1913, dan dilanjutkan ke Rijks Kweekschool di Haarlem, Belanda, dimana ia sempat meminjam dana dari orang-orang sekampungnya dan mendapat bantuan dari mantan gurunya untuk dapat melanjutkan studi disana.

Awalnya, ia bercita-cita ingin mendapatkan akte untuk menjadi kepala sekolah, tetapi karena sakit yang dideritanya ia hanya mendapatkan akte guru biasa. Siapa sangka, dikemudian hari Tan Malaka muncul menjadi tokoh di era imperalisme dengan membawa semangat nasionalis progresif sebagai api perjuangannya dalam upaya membangkitkan gemuruh suara bangsa.

Kebanyakan dari kita mengenal Tan Malaka sebagai salah satu tokoh yang berpengaruh pada gerakan kiri di Indonesia. Tokoh yang ditetapkan oleh Presiden Sukarno sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 53 yang ditandatangani pada 28 Maret 1963 ini, memang menerbitkan karya-karya progresif nan fenomenal seperti: Madilog, Massa Aksi, Gerpolek, Dari Penjara ke Penjara. Bahkan ia sempat menjadi Koordinator Kom-intern atau Komunis Internasional untuk kawasan Asia Tenggara, yang meneguhkan citranya sebagai seorang tokoh komunis.

Namun tak banyak yang tahu, bahwa di sidang Komintern tahun 1922, Tan Malaka dengan lantang membela Islam sebagai "agama yang harus dirangkul" dalam pergerakan melawan kapitalisme. Ini tentu bertentangan dengan mazhab komunis yang pada umumnya "memusuhi agama" dan menganggap agama sebagai "kapitalis putih" bahkan "candu" bagi pergerakan. Di sidang yang sama, ia juga menegaskan bahwa ia adalah seorang Muslim di mata Tuhan, dan membuat geger para peserta yang sebagian besar ateis dan sebagian lainnya agnostik.

Pasca pengakuannya tersebut, mulailah timbul jurang pemisah antara pemikiran intelektual Tan Malaka dengan Komunis pada umumnya. Dikemudian hari, Tan Malaka bersama pengikutnya mendirikan Musyawarah Rakyat Banyak (MURBA) dimana tokoh yang dikenal adalah: Chairul Saleh, M.Yamin, bahkan Wakil Presiden Adam Malik sebagai wadah perjuangan dan pergerakan pemikirannya.

Gerakan tersebut menjadi lawan politik dari PKI (Partai Komunis Indonesia) yang berkiblat ke Uni Sovyet & China ketika itu. Maka dengan demikian, mulai muncul pertanyaan bagi kita semua apakah pantas Tan Malaka dilabeli sebagai seorang Komunis, Nasionalis? atau bahkan Ia hanyalah seorang Muslim yang berpandangan Progresif? Melalui tulisan singkat ini, kita akan mencoba untuk mengupas secara sederhana serta objektif pemikiran dan pribadi Tan Malaka, sehingga memperkaya khazanah kita kepada para Pahlawan Muslim di negeri ini.

Tan Malaka juga lebih condong kepada taktik boikot dan mogok, daripada tindakan kekerasan yang berujung pada pelemahan dan penghancuran cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia. Pandangan Tan Malaka yang berlawanan dengan pemimpin gerakan komunis di Indonesia ketika itu, membuatnya mengalami pelarian panjang.

Dalam masa-masa itu, ia menggunakan banyak nama samaran seperti: Ilyas Husein ketika di Indonesia, Alisio Rivera ketika di Filipina, Hasan Gozali di Singapura, Ossorio di Shanghai, dan Ong Soong Lee di Hong Kong, untuk menghindari lawan politiknya baik di gerakan komunis maupun imperialis kolonialisme. Namun di akhir masa pendudukan Jepang, dia menyamar sebagai mandor di Banten dan menghabiskan waktu untuk menulis karya besarnya, Madilog.

Dari ulasan awal pribadi Tan Malaka, kita melihat seolah beliau mempunyai dua sisi yang bila dihadapkan secara penuh maka ada pertentangan akibat kompleksitas didalamnya. Ia mempunyai satu sisi religius yang menghantam gagasan reaktif tentang upaya mengkebiri keterlibatan agama dalam sebuah pergerakan, namun di sisi lain ia mempunyai pandangan progresif di luar dari para cendekiawan agamawan yang terpaku pada aturan ortodoksi dalam menerapkan perjuangan. Namun sebelum justifikasi itu dapat diberikan akhir kepada Tan Malaka, maka kita akan mencoba membedah pemahamannya terkait Islam dalam tulisan berikutnya.

Tan Malaka menaruh empati mendalam terhadap penderitaan kaum jelata yang sebangsa dengannya. Tidak lama kemudian, ia merantau ke Jawa dimana Tan Malaka sempat menempati kamar di rumah tokoh pergerakan Islam, HOS Cokroaminoto, serta bertukar pikiran dengan sang pemilik kost. Setelah itu dia turut membidani kemajuan Sarekat Islam cabang Semarang dan membangun sekolah di Semarang. Sarekat Islam, menurutnya, dapat menjadi gerakan yang mengembalikan kekuatan kepada para petani yang melarat di bawah kapitalisme kolonial. Islam dapat menjadi kekuatan yang mengembalikan apa yang seharusnya dimiliki orang-orang tak berdaya.

Pasca pecahnya SI menjadi SI Merah dan SI Putih, Tan Malaka termasuk dalam gerbong SI Merah yang kemudian hari kita kenal menjadi PKI. Meski dikenal sebagai tokoh awal PKI, tetapi di organisasi Partai Komunis Indonesia (PKI) di Indonesia sendiri, ia bukan orang yang disukai. Ia dituduh sebagai seorang pengkhianat dan berperan besar dalam gagalnya pemberontakan PKI yang dilakukan pada tahun 1926-1927.

Tan Malaka dianggap pengkhianat karena ia tidak hanya tidak setuju dengan rencana pemberontakan PKI, melainkan juga berusaha mencegah rencana pemberontakan. Hal ini dikarenakan ia berpandangan bahwa tidak ada perhitungan yang memungkinkan untuk memulai revolusi. Gerakan komunis saat itu dari kacamata Tan Malaka lebih mengedepankan anarkis, sementara ia berpandangan bahwa diperlukan konsep massa aksi yang teratur-terorganisir (taktis-strategis).

Pandangan progresifnya diperkirakan muncul ketika ia kemudian bekerja di sebuah perusahaan Sanebah, Tanjung Morawa Deli Sumatera Timur (Desember 1919-Juni 1921). Di tempat tersebut ia menyaksikan dialetika sosial dalam bentuk pertarungan gigih antara kaum buruh kuli kontrak melawan tuan-tuan kapitalis Belanda.

Dalam karyanya yang fenomenal, Madilog, Tan Malaka mengungkapkan bahwa kedua orangtuanya taat dan takut kepada Allah serta menjalankan sabda Nabi Muhammad SAW (sunnah) dan turut menjalankan adat lokal Minangkabau (matriarki dan rantau). Tan Malaka juga menegaskan dalam autobiografinya bahwa keluarganya hanya mengenal Islam dan Adat.

Dasar inilah yang menurut Taufik Abdullah (2018), mempengaruhi cara pandang intelektualitas Tan Malaka. Bahkan menurut Zulhasril (2007) dalam bukunya: Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau di Indonesia, didikan orangtuanya terkait falsafah orang Minangkabau "Alam Takambang Jadi Guru" (alam berkembang jadi guru), sangat mempengaruhi sudut objektifitas Tan Malaka dalam menilik fenomena ketika itu.

Perlu diketahui bahwa falsafah tersebut menjelaskan bahwa alam dan segenap unsurnya memiliki kaitan erat, berbenturan tapi tidak saling melenyapkan. Menilik pandangan hidup orang Minang, fenomena alam, binatang, tumbuhan tunduk kepada hukum yang telah diatur oleh Tuhan melalui keharmonisan. Hal inilah yang diyakini menjadi dasar pemikiran Tan Malaka dalam membentuk pandangan intelektualitas pergerakannya.

Di masa revolusi, Tan Malaka dianggap otak dari Peristiwa 3 Juli 1946. Dia menentang hasil perundingan Republik Indonesia dengan Belanda. Saat itu, Tan Malaka menuntut Merdeka 100 persen dimana ia juga terlibat dalam Persatuan Perjuangan bersama Jenderal Sudirman, yang tetap berjuang melalui gerilya revolusioner sebagai langkah yang mulia dalam mempertahankan kedaulatan Indonesia dari politik pecah belah Van Der Mook.

Pengaruh Tan Malaka juga terlihat pada peristiwa Rengasdengklok, dimana sebagian pemuda yang menyandera Soekarno-Hatta, merupakan kader didikan dan simpatisan ideologi yang dibawa Tan Malaka.

Menurut Rokhim, dkk (2019) Tan Malaka menguraikan dasar dan tujuan sekolah Sarekat Islam (SI) di sana serta cara mencapai tujuan pendidikannya. Tujuan sekolah menurutnya bukanlah mendidik murid menjadi juru tulis seperti tujuan Sekolah Gubernemen (sekolah kolonial), melainkan untuk mencari nafkah diri sendiri, keluarganya, dan membantu pergerakan rakyat. Untuk merumuskan tujuan pendidikan tersebut, ia menyesuaikan dengan realitas atau kebutuhan masyarakat pada waktu itu, yaitu:(1) Memberi keterampilan, (2) Memberi keleluasaan terhadap potensi belajarnya, termasuk kesukaan hidup (hobi), dengan jalan bergaul atau berkumpul, (3) Menanamkan rasa peduli dan tolong menolong terhadap sesamanya. (Dirangkum dari berbagai sumber)

Terkini