IKOBENGKULU.COM - Presiden terpilih Taiwan, Lai Ching-te, dihadapkan pada tantangan berat dalam hubungan dengan China setelah terpilih pada Sabtu, 13 Januari.
Lai, yang juga dikenal dengan nama Inggrisnya William, telah menegaskan dalam kampanyenya keinginan untuk mempertahankan status quo dengan China dan terbuka untuk dialog.
Meski menyatakan niat untuk berdamai, Lai yang berusia 64 tahun dianggap oleh Beijing
sebagai separatis dan "pembuat onar". Pandangan ini muncul terutama setelah komentar Lai pada 2017 ketika ia menjabat sebagai perdana menteri, di mana ia menyebut dirinya sebagai "pekerja" untuk kemerdekaan formal Taiwan, sebuah pandangan yang sangat bertentangan dengan posisi China.
Kendati demikian, Lai bersikukuh bahwa maksudnya adalah Taiwan sudah merupakan negara independen. Selama kampanye, ia mengikuti garis yang dianut oleh Presiden Tsai Ing-wen, bahwa Republik China (nama resmi Taiwan) dan Republik Rakyat China merupakan dua entitas yang tidak tunduk satu sama lain.
Konstitusi Taiwan mengakui Republik China sebagai negara berdaulat, pandangan yang dipegang oleh semua partai politik utama di Taiwan. Pemerintah Republik China melarikan diri ke Taiwan pada 1949 setelah kalah dalam perang saudara melawan komunis Mao Zedong.
Kekhawatiran Beijing terletak pada potensi Lai untuk mengubah status quo, dengan kemungkinan mendeklarasikan Republik Taiwan, sesuatu yang Lai klaim tidak akan dilakukannya.
Lai mengutarakan, “Kami tidak ingin bermusuhan dengan China. Kami bisa menjadi teman,” saat berbicara dengan stasiun televisi Taiwan pada Juli. Namun, komentar sebelumnya tetap memicu reaksi keras dari Beijing, termasuk seruan dari Global Times, surat kabar China yang berpengaruh, untuk mengeluarkan surat penangkapan internasional untuk Lai dan menuntutnya berdasarkan UU Anti-Separatis China 2005. ***