Waka I DPRD Seluma Kritik Penampilan Sekujang Di Jakarta, Dinilai Tidak Sesuai Adat Asli

Waka I DPRD Seluma Kritik Penampilan Sekujang Di Jakarta, Dinilai Tidak Sesuai Adat Asli

SELUMA - Wakil Ketua I DPRD Kabupaten Seluma, Samsul Aswajar, mengkritisi langkah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Seluma yang akan menampilkan tradisi Sekujang di acara budaya di Kota Tua, Jakarta. Menurutnya, apa yang ditampilkan tersebut tidak menggambarkan adat dan istiadat asli Kabupaten Seluma, melainkan sudah bercampur dengan unsur tari kreasi modern.

“Saya sebenarnya sangat mendukung budaya Seluma ditampilkan di Kota Tua. Namun setelah melihat tayangannya, saya sayangkan karena tidak sesuai dengan tema. Mereka menampilkan kreasi adat-istiadat Kabupaten Seluma, yakni Sekujang, tetapi isi yang ditampilkan bukan Sekujang yang sebenarnya,” ujar Samsul Aswajar.

Samsul menjelaskan, Sekujang merupakan tradisi khas Kabupaten Seluma yang memiliki unsur sakral dan kental dengan nuansa spiritual. Dalam pelaksanaannya, tradisi ini menggunakan atribut khas seperti ijuk, dupa, pawang, serta topeng-topeng menyeramkan, dan diiringi alat musik tradisional serunai, kelintang, serta redap. Karena itu, ia menilai penampilan yang diiringi dengan dol atau tari-tarian modern sudah keluar dari esensi adat Seluma.

“Sekujang itu kan pakai ijuk, dupa, pawang, dan topeng-topeng yang menyeramkan. Itu namanya Sekujang. Tapi kalau ditampilkan dengan tari-tarian dan pakai dol, itu bukan lagi adat kita. Dol itu tidak ada di Kabupaten Seluma. Yang ada itu serunai, kelintang, dan redap,” tegasnya.

Lebih lanjut, Samsul menyebut bahwa sebelum menampilkan adat istiadat di luar daerah, pihak Dinas seharusnya melakukan kajian mendalam dan belajar langsung dari sumbernya. Ia mencontohkan, kelompok Sekujang yang masih aktif di Talang Benuang seharusnya dijadikan rujukan, bahkan seharusnya dilibatkan langsung untuk mewakili Kabupaten Seluma.

“Kalau mau menampilkan adat istiadat kebudayaan, pelajari dulu adat itu. Jangan dicampur dengan modernisasi model sekarang. Kalau mau tampil Sekujang, ya pelajari dari sumbernya, misalnya ke Talang Benuang. Di sana ada kelompok Sekujang asli. Fasilitasi mereka, dua atau tiga orang pun cukup untuk mewakili adat Seluma yang sebenarnya,” katanya.

Politisi tersebut menilai, kekeliruan dalam menampilkan budaya lokal ini berpotensi menimbulkan kekecewaan masyarakat. Apalagi, kegiatan tersebut dibiayai dengan anggaran dari pemerintah daerah melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.

“Yang saya takutkan, dana dari Seluma sudah dikucurkan cukup besar untuk kegiatan ini. Tapi yang ditampilkan justru bukan adat istiadat Seluma, melainkan tari kreasi yang campur aduk. Akhirnya bukan mendapat pujian, tapi malah cacian dan kekecewaan dari masyarakat,” jelasnya.

Samsul berharap ke depan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Seluma lebih berhati-hati dalam membawa nama adat dan budaya daerah. Ia menegaskan, pelestarian adat Seluma tidak boleh dikorbankan hanya demi penampilan yang dianggap menarik di mata publik.

“Adat istiadat ini jangan sampai tergerus oleh zaman dan kalah dengan modernisasi. Kalau dicampur aduk seperti itu, Sekujang dibuat menjadi tari-tarian, itu bukan lagi adat kita. Kesan yang muncul, Dinas hanya menampilkan asal saja tanpa memahami makna budaya yang sebenarnya,” tutup Samsul.