IKOBENGULU.COM — Sesi keenam program Voices of Tomorrow: Where Young Journalists Meet Editorial Wisdom menghadirkan bahasan mendalam tentang peliputan politik di era arus informasi yang serbacepat. Kegiatan bertajuk “Political Reporting” itu berlangsung secara daring melalui Zoom, Sabtu (4/10/2025) pukul 09.30–11.30 WIB, menghadirkan dua mentor internasional: Sandeep Unnithan (Pemimpin Redaksi Chakranews, India) dan Uslimin (Pemimpin Redaksi Kabar Bursa sekaligus mantan Komisioner KPU Sulawesi Selatan).
Acara yang dipandu tim India News Desk tersebut dibuka dengan penekanan pentingnya jurnalisme politik yang berimbang dan berorientasi pada kepentingan publik. Dalam pengantarnya, panitia menekankan bahwa di tengah derasnya “churn” informasi—perputaran isu yang cepat berubah—wartawan muda dituntut mampu menjaga jarak profesional dari bias, menempatkan fakta di atas opini, serta memahami bahwa berita yang dikonsumsi publik kerap datang dengan sudut pandang redaksi tertentu. “Konsumen sering tidak sadar bahwa mereka membeli perspektif—dari jurnalis atau kanal berita—yang kemudian ikut membentuk pandangan kita,” ujar salah satu narasumber pengantar.

Jembatan India–Indonesia
Sandeep Unnithan mengawali paparannya dengan menegaskan kedekatan historis dan geografis India–Indonesia. Ia mengingatkan, jarak Kepulauan Andaman–Nicobar ke Sabang hanya sekitar 80 mil laut. “Kita mewarisi sejarah panjang—dari ikatan peradaban, bahasa, dan agama hingga Konferensi Asia–Afrika di Bandung,” kata Sandeep. Kedekatan itu diyakininya menjadi modal kuat untuk berbagi praktik baik jurnalisme politik, termasuk kolaborasi ruang redaksi lintas negara.
Sandeep kemudian mengulas keterkaitan keputusan politik dan perubahan sosial-ekonomi. Ia mencontohkan Revolusi Hijau dan liberalisasi ekonomi 1991 sebagai dua keputusan politis yang paling transformatif di India: “Keputusan-keputusan itu mengubah kemampuan negara memberi makan rakyatnya, menarik investasi, dan memacu sektor swasta. Dampaknya terasa pada indeks pembangunan dan mobilitas kelas menengah.”
Di sisi kebijakan publik yang relevan bagi Indonesia, Sandeep menyinggung program makan siang sekolah. Di India, program ini bukan sekadar populis, melainkan berimplikasi luas pada gizi, partisipasi sekolah—terutama anak perempuan—serta pemberdayaan keluarga. “Keputusan yang terlihat kecil dapat berdampak hilir luar biasa selama puluhan tahun,” ujarnya. Namun, ia mengingatkan pentingnya pagar pembatas agar program sosial tidak melahirkan ketergantungan, melainkan menjadi alat pemberdayaan warga.
Tempo Politik Kian Cepat
Menurut Sandeep, dinamika geopolitik kini bergerak secepat format pertandingan kriket T20—jam dan hari, bukan lagi minggu dan bulan. Hal itu didorong munculnya pemimpin populis, penetrasi teknologi, dan kebiasaan politisi menyiarkan pesan langsung ke publik. “Keputusan global cepat berdampak lokal,” katanya, mencontohkan perdebatan tarif dan akses pasar pertanian yang berimplikasi pada mata pencaharian petani.
Di tengah laju perubahan ini, peliputan politik menjadi salah satu “ketukan” (beat) tersulit karena cakupan multidisipliner—teknologi, kebijakan, sejarah, sampai geopolitik—serta fragmentasi politik yang sangat tinggi. India memiliki 28 negara bagian, 6 wilayah persatuan, dengan ratusan partai yang membuat pemilu berlangsung nyaris tanpa jeda. “Wartawan politik harus rajin membaca, memperkaya pengetahuan lintas bidang, dan menjaga disiplin verifikasi,” tegasnya.
Sandeep juga menyinggung kebebasan pers di India. Ia mengakui ada periode sulit—misalnya masa darurat 1975–1977—namun menekankan tugas jurnalis tetap sama: mengajukan pertanyaan yang tidak nyaman, menuntut akuntabilitas, dan menahan bias pribadi agar tidak merembes ke berita.
Empat Isu Krusial Pemilu di Indonesia

Pembicara kedua, Uslimin, memotret lanskap peliputan politik Indonesia pascapemilu 2024. Menurut dia, revisi undang-undang pemilu perlu segera disiapkan untuk menjawab empat isu krusial yang berulang dari pemilu ke pemilu:
- Netralitas aparat (ASN, TNI/Polri, hingga penyelenggara pemilu) yang masih menuai sorotan.
- Politik uang dalam beragam bentuk yang menggerus kualitas demokrasi dan memicu sengketa pascapemilu.
- Disinformasi, hoaks, dan polarisasi identitas yang memecah publik, terlebih di tahun politik.
- Keadilan hukum dalam penyelesaian sengketa pemilu yang sering dipersepsikan tidak independen.
Uslimin mengajak media arus utama memperkuat jurnalisme berbasis data untuk menahan godaan spekulasi maupun tekanan politik. “Jangan turunkan laporan sebelum datanya digenggam. Kita harus berani investigasi, tetapi keselamatan jurnalis tetap utama,” ujarnya. Ia menekankan perlindungan narasumber sebagai prinsip nonnegotiable: identitas sumber rahasia tidak boleh dibuka, kecuali diperintahkan pengadilan.
Verifikasi: dari ‘Cover Both Sides’ menuju ‘Cover All Sides’
Menjawab pertanyaan peserta tentang batas antara independensi profesional dan pandangan pribadi, Uslimin menyebut verifikasi berlapis kunci menjaga kredibilitas. Ia mendorong ruang redaksi menegakkan standar “cover all sides” ketimbang sekadar “both sides” agar konteks isu politik yang kompleks tak tereduksi. “Lebih baik kalah cepat daripada salah fakta,” katanya, menambahkan bahwa berita mainstream mesti hadir terverifikasi, sebagai pembeda dari banjir informasi media sosial.
Ia juga menyoroti relasi newsroom–business room di media. Tekanan bisnis bisa datang, tetapi standar editorial tidak boleh dikompromikan. “Iklan jalan, tetapi tidak boleh memengaruhi pemberitaan,” tegasnya. Bagi jurnalis yang bekerja di media milik tokoh politik, Uslimin mengibaratkan “ikan laut yang tidak asin”—tetap profesional sekalipun hidup di lingkungan yang partisan.
Melek Regulasi Pemilu
Uslimin menilai banyak kekeliruan liputan berawal dari minimnya literasi regulasi. Wartawan politik perlu memahami UU Partai Politik, UU Pemilu, UU Pilkada, hingga peraturan teknis seperti PKPU dan kewenangan Bawaslu dalam penertiban alat peraga. “Jurnalis pemula harus gemar membaca regulasi agar tidak tersesat pada mis, dis, dan malinformation,” katanya.
Ia mendorong penyelenggara pemilu aktif bersosialisasi di luar masa tahapan agar ruang publik tidak didominasi konten menyesatkan. Di sisi lain, newsroom disarankan menghidupkan kembali posko peliputan menjelang pemilu—menghadirkan narasumber KPU, Bawaslu, pemantau pemilu, dan akademisi—sebagai ruang belajar kolektif.
Integritas dan Keberanian Prosedural
Menjawab soal tekanan politik dan ancaman saat bertugas, Uslimin menggarisbawahi pentingnya keteguhan prosedural: mengumpulkan dokumen pendukung, menjaga rantai verifikasi, dan menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan kelompok. “Integritas itu diuji di lapangan. Kalau data dan fakta kita solid, ruang untuk intervensi menyempit,” ujarnya.
Ia mencontohkan bagaimana upaya intervensi terhadap proses hasil pilkada pernah terjadi, termasuk dorongan sejumlah pihak agar aparat “membantu” mengubah peta dukungan. “Arahan resmi institusi harus dipatuhi. Di luar itu, jurnalis wajib berdiri di sisi kebenaran faktual,” katanya.
Menjaga Jarak dari “Money Politics”
Uslimin menyebut ancaman politik uang tak hanya menyasar jurnalis, tetapi bisa menembus pemilik media. Ia menyarankan kebijakan redaksi tertulis yang melindungi wartawan dari konflik kepentingan, serta traceability dokumen dan data agar laporan investigasi tak mudah dipatahkan. “Basis data menyelamatkan,” ujarnya.
Kolaborasi Ruang Redaksi
Menutup sesi, para mentor mendorong kolaborasi jurnalis Indonesia–India untuk saling bertukar praktik baik peliputan pemilu dan kebijakan publik. Sandeep menilai proyek-proyek konektivitas kawasan, termasuk rencana pengembangan pelabuhan di Pulau Nicobar Besar, akan mempererat interaksi kedua negara, termasuk ekosistem media.
Panitia mengapresiasi antusiasme peserta dan menegaskan Voices of Tomorrow akan terus menjadi ruang penguatan kapasitas jurnalis muda—sekaligus jembatan lintas negara untuk jurnalistik yang independen, akurat, dan berorientasi kepentingan publik. ***