Voices of Tomorrow

Dubes India: Angka Perkuat Argumen, Asal Dimaknai Benar

Dubes India: Angka Perkuat Argumen, Asal Dimaknai Benar
Duta Besar India untuk Indonesia, Sandeep Chakravorty/ foto/ist/

IKOBENGKULUCOM — Data kerap dianggap objektif. Namun, angka bisa menyesatkan jika dipakai tanpa konteks. Hal itu ditegaskan Duta Besar India untuk Indonesia, Sandeep Chakravorty, saat membuka forum Voices of Tomorrow: Where Young Journalists Meet Editorial Wisdom bertema “Data Journalism: Finding Stories in Numbers,” Sabtu (27/9/2025).

Acara yang digelar India News Desk bersama Kedutaan Besar India di Jakarta ini menghadirkan Analis Senior Bloomberg, Nitin Jaiswal, serta Pemimpin Redaksi Investor Trust, Primus Dorimulu. Keduanya berbagi pandangan tentang pentingnya literasi data bagi jurnalis muda di era digital.

Pentingnya Literasi Data

Menurut Dubes Sandeep, jurnalisme modern tidak bisa dipisahkan dari angka. “Angka memperkuat argumen, tapi harus dimaknai dengan benar,” ujarnya. Ia menekankan, literasi data menjadi kunci agar berita tidak terjebak dalam bias atau manipulasi.

Nitin Jaiswal: Jangan Mulai dari Angka

Analis Senior Bloomberg, Nitin Jaiswal/ foto/ zoom/iyud

Nitin Jaiswal menekankan bahwa data hanyalah alat, bukan tujuan. “Don’t start from the numbers. Start from the questions,” katanya.

Ia menguraikan tiga pilar jurnalisme data: kredibilitas sumber, konteks, dan presentasi. Kredibilitas berarti mengutamakan data resmi dan dataset yang dapat diaudit. Konteks menuntut perbandingan lintas waktu dan wilayah. Sementara presentasi menekankan penyajian ringkas, didukung narasi yang mudah dipahami.

“Tidak semua angka harus dipublikasikan. Pilihlah metrik yang paling relevan,” ujar Nitin. Ia mencontohkan, untuk menulis isu ekonomi keluarga, data harga bahan pokok lebih dekat dengan pembaca dibanding produk domestik bruto (PDB).

Nitin juga mengingatkan pentingnya human angle. “Numbers give evidence, humans give empathy,” katanya. Data pengangguran akan lebih bermakna jika disertai kisah nyata lulusan baru yang sulit mendapat pekerjaan.

 

Primus Dorimulu: Fakta Itu Suci

Pemimpin Redaksi Investor Trust, Primus Dorimulu/ ist/ ss zoom/

Sementara itu, Primus Dorimulu menekankan etika dan disiplin verifikasi. “Komentar bebas, tapi fakta itu suci,” ujarnya.

Menurut Primus, ada lima disiplin utama dalam jurnalisme verifikasi: cek ulang berkelanjutan, cover both side, cross-check lintas dokumen dan narasumber, melihat isu dari berbagai sudut, serta melacak hingga sumber pertama.

Ia mencontohkan, kerusuhan sosial beberapa waktu lalu dipicu oleh manipulasi data ketimpangan ekonomi. “Satu potong data disebarkan tanpa konteks, jadilah kerusuhan,” katanya.

 

Kecepatan versus Kebenaran

Pemimpin Redaksi Investor Trust, Primus Dorimulu/  foto/ ist/ss zoom/

Primus menyoroti dilema newsroom yang terjebak pada kecepatan di era digital. Klik dan algoritme sering membuat media tergoda memuat berita mentah. “Kecepatan tanpa verifikasi hanya menambah kebisingan,” ujarnya.

Ia mengingatkan, UU Pers No. 40/1999 menegaskan pers wajib menyajikan informasi yang tepat, benar, dan akurat.

Primus juga menekankan pentingnya jurnalisme positif. “Positif bukan berarti menutup-nutupi keburukan,” katanya. Korupsi tetap harus dibongkar, namun media juga perlu menyajikan solusi atau praktik baik.

Menjaga Martabat

Primus mengingatkan media agar menjaga martabat manusia. Ia menilai banyak tayangan televisi masih mengeksploitasi korban demi rating. “Jurnalisme positif berarti kritis, tapi juga membangun harapan,” ujarnya.

Ia mencontohkan program makan bergizi di sekolah. Media tidak cukup memberitakan kasus keracunan makanan, tetapi juga harus mengangkat solusi, seperti memanfaatkan kantin sekolah untuk distribusi makanan sehat.

 

Bonus Demografi dan Peran Media

Pemimpin Redaksi Investor Trust, Primus Dorimulu/ ist/ss zoom/

Primus mengaitkan peran jurnalisme data dengan bonus demografi Indonesia. Pada 2030-an, sekitar 70 persen penduduk berada pada usia produktif.

“Ini peluang sekaligus tantangan,” katanya. Bila dikelola dengan baik, bonus demografi bisa mendorong produktivitas. Sebaliknya, jika gagal, berisiko menimbulkan frustrasi sosial.

Menurut Primus, media harus mengawal agenda besar ini dengan jurnalisme berbasis data: membongkar masalah, menghadirkan alternatif solusi, dan menumbuhkan optimisme publik.

 

AI Hanya Asisten

Kedua narasumber juga menyinggung peran kecerdasan buatan (AI) di ruang redaksi. AI dinilai berguna untuk pekerjaan teknis, seperti ringkasan rilis, transkripsi wawancara, atau pembersihan data. Namun keputusan editorial dan pertimbangan etika tetap menjadi domain manusia.

AI output is only as good as human input,” kata Nitin.

Forum ditutup dengan tiga pesan utama bagi jurnalis muda: mulai dari pertanyaan publik, bukan sekadar angka; pilih metrik inti dan sajikan dengan visual sederhana; serta tegakkan verifikasi dari sumber data hingga uji kewarasan.

“Bangsa besar butuh media yang cerdas dan bertanggung jawab,” ujar Primus. ***