IKOBENGKULU.COM– Dunia jurnalisme sedang berada pada titik persimpangan: antara kecepatan digital yang tanpa henti dan tuntutan menjaga kredibilitas di tengah banjir informasi. Tema inilah yang mengemuka dalam diskusi Voices of Tomorrow: Where Young Journalists Meet Editorial Wisdom yang digelar secara daring pada Sabtu pagi (20/9).
Acara yang diinisiasi oleh Indian News Desk bekerja sama dengan Kedutaan Besar India di Jakarta ini menghadirkan dua sosok penting di dunia media: Palki Sharma, jurnalis senior Firstpost India, dan Laban Laisila, jurnalis investigasi sekaligus produser di Narasi TV Indonesia. Sesi bertajuk Digital Journalism & Multimedia Storytelling ini diikuti oleh ratusan jurnalis muda dari Indonesia dan India melalui platform Zoom Meeting.
Palki Sharma: Cepat Boleh, Tapi Jangan Salah
Dalam paparannya, Palki Sharma menyoroti dinamika jurnalisme digital yang menurutnya penuh paradoks. Di satu sisi, teknologi membuat produksi berita lebih mudah, lebih cepat, dan lebih demokratis. Namun, di sisi lain, tantangan verifikasi dan risiko penyebaran hoaks semakin tinggi.
“Video kucing, meme, hingga gulungan tari adalah pesaing nyata kita hari ini. Jurnalisme digital itu cepat, tanpa henti, kadang kejam, tapi juga sangat menarik,” kata Palki membuka presentasinya.
Ia menekankan bahwa kecepatan memang penting, tetapi akurasi jauh lebih utama. “Menjadi yang pertama tidak berguna kalau salah. Dalam dunia digital, kredibilitas adalah mata uang sebenarnya. Kejar cepat, tapi jangan bayar dengan akurasi,” tegasnya.
Bagi Palki, inti jurnalisme tetap sama meski formatnya berubah. “Anda bisa menulis di perkamen, di surat kabar, di Instagram, bahkan dengan bantuan AI. Tapi tujuan jurnalis tidak berubah: mempertanyakan, menantang, dan memberi tahu dunia,” ujarnya.

AI: Alat, Bukan Pengganti Naluri
Isu penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam ruang redaksi turut dibahas. Menurut Palki, AI memang menawarkan kemudahan—dari menulis naskah, mengedit video, hingga menghasilkan judul berita hanya dalam hitungan detik. Namun, AI tidak bisa menggantikan intuisi, empati, dan naluri kritis jurnalis.
“AI bisa menjahit kata-kata, tapi tidak bisa mengajukan pertanyaan yang tidak nyaman. Itulah tugas manusia. Itulah tugas jurnalis,” ungkapnya.
Ia mengajak jurnalis muda untuk tidak menolak teknologi, tetapi menguasainya. “AI harus diperlakukan sebagai alat bantu, bukan majikan. Gunakan untuk mempercepat pekerjaan, tapi jangan serahkan sepenuhnya pada mesin. Sentuhan manusia tetap jadi pembeda utama,” jelasnya.
Tantangan Jurnalisme Warga dan Media Sosial
Palki juga menyinggung fenomena citizen journalism yang semakin marak lewat media sosial. Menurutnya, jurnalisme warga bisa memperkaya ruang publik, tetapi juga rawan karena minim verifikasi. “Siapa pun sekarang bisa memublikasikan, memperkuat, dan menyebarkan informasi. Sayangnya, tidak semua memverifikasi. Akibatnya, berita palsu lebih cepat menyebar dibanding kebenaran,” ucapnya.
Solusinya, menurut Palki, adalah kembali ke prinsip dasar: atribusi jelas, konfirmasi dari dua sumber, serta konsistensi dalam menjaga standar. “Katakan pada audiens: jangan datang kepada kami untuk sekadar breaking news, tapi datanglah untuk berita yang bisa dipercaya,” katanya.
Laban Laisila: Format Boleh Berubah, Prinsip Tetap Sama

Jika Palki berbicara dari pengalaman global, Laban Laisila menambahkan perspektif lokal Indonesia. Jurnalis yang lama bergelut di dunia liputan investigasi ini menegaskan bahwa teknologi hanyalah medium baru untuk menyampaikan cerita lama: kebenaran.
“Format boleh berubah, platform boleh berganti, tapi prinsip bercerita tetap sama: menyampaikan kebenaran, relevansi, dan konteks kepada publik,” ujar Laban.
Ia menekankan pentingnya kemampuan jurnalis multimedia yang adaptif. “Hari ini, seorang jurnalis bisa memotret, merekam video, menulis naskah, dan mengedit dengan hanya menggunakan satu smartphone. Namun, kualitas cerita tetap jadi penentu apakah karya itu akan bertahan atau tenggelam,” tambahnya.
Bisnis Media dan Model Langganan
Dalam sesi tanya jawab, isu model bisnis media juga mencuat. Menurut Palki, ketergantungan pada iklan—baik swasta maupun pemerintah—membawa risiko independensi redaksi. Karena itu, model berbasis langganan dianggap lebih sehat meski jalannya terjal.
“Kalau Anda bisa membayar Rp50 ribu untuk kopi, mengapa tidak membayar untuk berita yang kredibel? Dengan berlangganan, media bisa menjaga independensi,” katanya. Namun, ia mengingatkan bahwa media juga harus memberi nilai tambah agar publik mau membayar. “Jangan hanya menyalin apa yang sudah ada di media sosial. Berikan analisis, konteks, dan sudut pandang yang membuat produk Anda berbeda,” tegasnya.
Pesan untuk Jurnalis Muda Indonesia–India
Acara Voices of Tomorrow menjadi ruang bertukar pandangan antara jurnalis India dan Indonesia. Baik Palki maupun Laban menegaskan bahwa dua negara dengan populasi muda dan demokrasi besar ini memiliki peluang besar untuk menghasilkan cerita yang mendunia.
“Tema besar seperti demokrasi, iklim, teknologi, dan ketidaksetaraan adalah isu universal. Cerita lokal bisa punya resonansi global, dan cerita global bisa jadi relevan lokal. Kalau kita ceritakan bersama, dunia akan mendengar,” ucap Palki.
Ia menutup sesi dengan pesan kuat: “Kepercayaan adalah bintang utara Anda, rasa ingin tahu adalah kompas, dan keberanian adalah zirah terakhir. Platform akan berubah, algoritma akan berganti, AI akan berkembang. Tapi dasar bercerita tetap sama.” ***