IKOBENGKULU.COM – Forum “Voices of Tomorrow” menghadirkan dua jurnalis perempuan Asia, Amy Sood dan Rini Yustiningsih, untuk membahas tantangan dan strategi peliputan berbasis gender di ruang redaksi.
Acara yang digelar India News Desk, Konsulat Jenderal India di Medan ini menyoroti bias media, stereotip, dan diskriminasi yang kerap dialami perempuan dalam pemberitaan maupun dunia kerja jurnalistik.
Amy Sood, jurnalis asal India yang besar di Indonesia dan kini bekerja di Financial Times, memaparkan pengalamannya meliput isu-isu sensitif, termasuk kekerasan berbasis gender, hak reproduksi, serta representasi perempuan di ruang publik.
Ia menekankan pentingnya empati dalam mewawancarai korban kekerasan dan memberi ruang aman bagi narasumber.
“Wartawan harus menciptakan lingkungan nyaman bagi sumber cerita. Terkadang, perlu memberi waktu lebih agar korban siap berbicara. Tujuan utama kita adalah membawa isu ini ke publik dengan cara yang berempati dan berperspektif korban,” kata Amy.
Amy juga menyoroti perlunya memperluas sumber berita untuk menghadirkan suara perempuan dan kelompok minoritas, terutama di sektor yang didominasi laki-laki seperti politik, pertahanan, dan ekonomi.
“Termasuk perempuan dan pakar gender beragam memperkaya liputan dan mendorong perubahan kebijakan,” ujarnya.

Sementara itu, Pemimpin Redaksi Solopos Media Group Rini Yustiningsih memaparkan tantangan jurnalis perempuan di Indonesia. Ia menyoroti budaya patriarki, bias gender dalam pemberitaan, hingga hambatan promosi karier.
Rini juga membongkar tren clickbait yang kerap memojokkan korban kekerasan seksual.
“Perempuan sering dijadikan objek dalam judul berita. Banyak judul yang justru menyalahkan korban, bukan pelaku. Padahal media seharusnya memberi empati dan melindungi identitas korban,” tegas Rini.
Ia mengungkapkan, berdasarkan riset Aliansi Jurnalis Independen (AJI), jumlah jurnalis perempuan di Indonesia baru sekitar 20–30 persen, lebih rendah di daerah. Minimnya keterwakilan ini, kata Rini, berpengaruh pada perspektif liputan yang bias laki-laki.
Dalam paparannya, Rini mengajak ruang redaksi memperkuat kebijakan internal untuk melindungi jurnalis perempuan, memperluas representasi perempuan sebagai narasumber, dan mengedepankan peliputan berbasis fakta dan keadilan gender.
Acara “Voices of Tomorrow” diakhiri dengan sesi tanya jawab interaktif, membahas batas empati jurnalis terhadap narasumber, strategi pitching isu gender ke redaksi, hingga pentingnya pelatihan dan kebijakan internal untuk menciptakan ruang aman di media.
“Gender reporting bukan hanya soal perempuan. Ini tentang bagaimana jurnalisme bisa lebih adil, setara, dan mendorong perubahan sosial,” kata Rini menutup sesi diskusi. ***