(Opini oleh Alib Prihantoro Putro, M.IKom, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Ratu Samban)
Ditengah teriknya aspal dan riuh suara orasi, selembar kain berkibar. Bukan merah putih, bukan pula panji organisasi politik, melainkan bendera bajak laut ala One Piece. Adegan ini terjadi dalam aksi protes didepan DPR RI beberapa hari lalu, dan seketika memecah opini publik. Ada yang menilai itu sebagai nafas segar kreativitas politik anak muda, ada pula yang merasa itu menodai kehormatan simbol nasional.
Namun, dibalik pro-kontra itu, kita bisa belajar satu hal: generasi muda sedang menulis babak baru politik dengan pena budaya populer. Mereka memilih lambang yang berbicara dalam bahasa imajinasi, tetapi tetap memuat pesan perlawanan yang nyata.
Dalam teori komunikasi politik, simbol ibarat jembatan yang menghubungkan pesan dengan denyut emosi publik. Diera media sosial—dimana gambar melaju lebih cepat dari paragraf panjang—simbol visual adalah kapal tercepat yang mengantarkan gagasan. Bendera One Piece dengan tengkorak bertopi jerami tidak hanya sekadar gambar; ia adalah metafora kebebasan berlayar, keberanian menantang otoritas, dan keyakinan bahwa setiap pelaut muda berhak mengemudikan kapalnya sendiri.
Sejarah telah berulang kali menunjukkan kekuatan ini. Topeng V for Vendetta pernah menjelma wajah kolektif perlawanan dalam gerakan Occupy Wall Street. Salam tiga jari dari The Hunger Games menjadi cahaya pro-demokrasi di Thailand dan Myanmar. Dunia maya dan nyata bertemu dalam “kamus visual” yang menembus batas bahasa dan geografi.
Namun, dibalik layar romantisnya, kreativitas ini punya bayangannya sendiri. Ada risiko pesan tenggelam dalam euforia simbol. Publik bisa saja lebih sibuk membicarakan “betapa uniknya” bendera itu, ketimbang merenungi akar masalah yang melatarinya. Ada pula potensi gesekan identitas ketika simbol asing digunakan ditanah yang sarat sejarah dan nilai sendiri.
Disinilah kuncinya: mengemas simbol pop-culture dengan narasi yang tajam, berpijak pada data, dan tetap selaras dengan nilai kebangsaan. Kreativitas memang layar yang membuat kapal bergerak, tapi arah kemudi tetap harus ditentukan oleh tujuan yang jelas. Sebab, dalam politik, perjalanan tanpa arah hanyalah putaran tanpa makna.
Bendera bajak laut ditengah demonstrasi ini menjadi pengingat bahwa politik bukan lagi sekadar panggung formal atau meja perundingan. Ia telah merapat ke dermaga budaya populer, tempat generasi muda meramu aspirasi dengan bahasa yang mereka kuasai. Tugas kita, sebagai pendidik, pengamat, atau sekadar penumpang di kapal sejarah ini, adalah memastikan layar itu mengembang menuju pulau perubahan yang sesungguhnya—bukan sekadar berputar di lautan simbol yang indah tapi tak membawa ke mana-mana.