Tari Kreasi Baru Tumbuhkan Cinta Budaya Generasi Muda Bengkulu

Tari Kreasi Baru Tumbuhkan Cinta Budaya Generasi Muda Bengkulu
Lomba Tari Kreasi Baru tingkat umum yang digelar UPTD Taman Budaya Kota Bengkulu menjadi ajang penting untuk menanamkan kecintaan generasi muda terhadap seni dan budaya daerah.

Bengkulu - Lomba Tari Kreasi Baru tingkat umum yang digelar UPTD Taman Budaya Kota Bengkulu menjadi ajang penting untuk menanamkan kecintaan generasi muda terhadap seni dan budaya daerah. Digelar rutin setiap tahun, ajang ini tidak hanya memamerkan kreativitas, tetapi juga menjadi sarana memperkenalkan adat istiadat Provinsi Bengkulu yang kaya akan kearifan lokal.

Kepala UPTD Taman Budaya Kota Bengkulu, Bambang Hirawan, menyatakan bahwa lomba tari kreasi ini memang dirancang sebagai panggung kreatif generasi muda untuk terus menumbuhkembangkan semangat berkesenian, khususnya dalam konteks budaya lokal. Tahun ini, sebanyak 35 peserta dari berbagai komunitas dan sanggar tari ikut ambil bagian, menampilkan ragam karya yang unik dengan tema bebas namun tetap berakar pada semangat pelestarian budaya.

“Lomba ini memang rutin digelar setiap tahun. Harapannya, selain sebagai wadah berkesenian, juga menjadi medium agar masyarakat mengenal lebih dalam budaya dan adat istiadat Bengkulu. Apalagi sekarang, lewat media digital seperti handphone, kegiatan seperti ini bisa lebih mudah disebarluaskan ke masyarakat luas,” ujar Bambang.

Salah satu penampil yang mencuri perhatian adalah Sanggar Puspa Budaya Kencana yang menampilkan tarian bertajuk "Minen Bekakuk". Tarian ini mengangkat kearifan lokal dari masyarakat Suku Rejang di daerah Taba Penanjung, Kabupaten Bengkulu Tengah.

Deni Sahputra, perwakilan sanggar tersebut, menjelaskan bahwa kakuk—kursi tradisional dari papan—menjadi inspirasi utama dalam tarian mereka.

“Kami ingin memperkenalkan bahwa kakuk bukan sekadar benda, tapi bagian dari tradisi hidup masyarakat. Hingga hari ini, di dusun-dusun, masyarakat masih menggunakan kakuk dalam kegiatan sehari-hari, terutama dalam pesta adat atau gotong royong ibu-ibu,” ungkap Deni.

Deni menambahkan, proses penciptaan tarian ini melalui riset mendalam, mulai dari bahasa Rejang yang beragam di tiap daerah, musik tradisional seperti gong dan ceger, hingga kostum khas wanita Taba Penanjung yang masih memakai baju basahan. Semua itu digali demi menjaga keaslian dan nilai budaya dari tarian yang mereka tampilkan.

Namun, perjuangan menciptakan tarian ini tak mudah. Awalnya mereka menyiapkan tarian lain berjudul Kementik, namun mendadak panitia melarang penggunaan karya yang sudah pernah ditampilkan. “Waktu kami tinggal 3 hari. Total latihan cuma sekitar 6 jam, itu pun dibagi-bagi karena semua penari punya kesibukan, dan kami bahkan sempat latihan sambil hujan-hujanan,” kenangnya.

Meski penuh tantangan, semangat mereka tidak surut. Justru pengalaman ini menambah keyakinan bahwa budaya tidak boleh dipandang kuno. “Banyak anak muda menganggap budaya itu ketinggalan zaman. Tapi lewat acara seperti ini, kita bisa tunjukkan bahwa justru melestarikan budaya adalah bentuk kemajuan, karena kalau bukan kita, siapa lagi?” tegas Deni. (Feby)