Oleh: Aldi Saputra, Mahasiswa KPI UINFAS Bengkulu
Taukah kamu Menurut data dari Databoks tahun 2024, generasi Z menunjukkan tingkat kecemasan yang lebih tinggi dibanding generasi sebelumnya. Sekitar 40% merasa cukup khawatir, 23,3% merasa khawatir, dan 5% merasa sangat khawatir terhadap berbagai aspek kehidupan. Salah satu faktor utama pemicu kecemasan ini adalah pengaruh media sosial, yang kerap menampilkan kehidupan orang lain secara ideal dan tidak realistis.
Overthinking kini menjadi salah satu pemicu stres dan gangguan kesehatan mental yang paling sering dialami generasi muda. Mereka terlihat baik-baik saja di luar, tersenyum, bercanda, dan aktif di media sosial. Namun siapa sangka, di balik itu mereka sedang berperang dengan pikirannya sendiri—memutar ulang kesalahan masa lalu, menciptakan ketakutan tentang masa depan, dan terjebak dalam pertanyaan yang tak kunjung mendapat jawaban.
Overthinking bukan sekadar berpikir berlebihan. Ia adalah bentuk kelelahan mental yang tak tampak, namun sangat nyata. Ia membuat seseorang meragukan diri sendiri, takut gagal, dan cemas tanpa sebab. Lama-lama, overthinking menjadi seperti penjara: kita sadar kita terjebak, tapi tidak tahu bagaimana keluar.
Menurut saya, overthinking adalah krisis emosional yang paling sunyi. Kita tumbuh dalam budaya “harus sukses”, “harus kuat”, dan “tidak boleh gagal”. Akibatnya, ketika ragu atau jatuh, kita merasa tidak cukup. Kita malu mengakui lelah, takut dianggap lemah, dan akhirnya memilih diam sambil menyimpan semuanya dalam kepala.
Psikolog klinis Dr. Susan Nolen-Hoeksema menyebut Dakam Bukunya yang Berjudul(Women Who Think too much) overthinking sebagai “mental habit that feeds anxiety and depression.” Ia meneliti bahwa orang yang terus mengulang-ulang pikiran negatif rentan mengalami depresi, insomnia, bahkan kehilangan makna hidup. Ibarat kaset rusak yang tak kunjung berhenti, pikiran buruk yang diputar terus-menerus membuat seseorang terjebak dalam ketakutan yang ia ciptakan sendiri.
Psikolog Indonesia, Anindyajati, M.Psi., dari RSUP Dr. Sardjito, juga menyampaikan hal serupa, Di Artikel dan wawancara media, salah satunya dari berbagai seminar dan publikasi oleh RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.. Ia menekankan bahwa overthinking sering muncul akibat tekanan sosial dan keinginan untuk mengendalikan segala hal. “Padahal tidak semua hal bisa kita kontrol, dan itu tidak apa-apa,” ujarnya. Menurutnya, belajar menerima ketidakpastian adalah bagian penting dari menjaga kesehatan mental.
Tekanan dari media sosial pun memperburuk keadaan. Hidup seolah menjadi ajang perlombaan: siapa yang lebih sukses, lebih bahagia, lebih menarik. Kita jadi mudah membandingkan diri, merasa tertinggal, dan akhirnya tenggelam dalam pikiran-pikiran negatif yang menggerogoti.
Dampaknya? Sangat besar. Overthinking bisa menyebabkan stres kronis, gangguan tidur, kelelahan emosional, dan bahkan memengaruhi hubungan sosial. Banyak yang merasa sulit berbicara jujur, takut ditolak, takut salah, dan akhirnya memilih diam. Padahal, diam justru memperpanjang luka.
Psikolog Ami Rokhayati, M.Psi. dari Universitas Muhammadiyah Surabaya, menjelaskan Didalam Forum akademik Dan media local .bahwa overthinking juga bisa berkaitan dengan luka masa lalu yang belum selesai. “Jika seseorang tak punya ruang aman untuk mengekspresikan diri, pikirannya mengambil alih, menciptakan kekhawatiran dan rasa bersalah yang terus berulang,” katanya.
Namun kabar baiknya: overthinking bukan sesuatu yang tak bisa dikendalikan.
Langkah pertama adalah kesadaran. Menyadari bahwa kita sedang overthinking adalah titik awal untuk pulih. Kita bisa mulai mempraktikkan teknik “Name it to tame it”, yaitu menyebutkan emosi atau pikiran negatif yang muncul agar kita tidak lagi larut di dalamnya. Latihan mindfulness, journaling, dan mengurangi paparan media sosial juga bisa sangat membantu.
Jangan ragu mencari bantuan profesional. Psikoterapi seperti CBT (Cognitive Behavioral Therapy) terbukti efektif untuk mengubah pola pikir destruktif menjadi pola pikir yang sehat. Ingatlah: meminta bantuan bukan kelemahan, tapi bentuk keberanian untuk bertumbuh.
Hidup ini terlalu berharga jika terus kita habiskan untuk menakuti hal-hal yang belum tentu terjadi. Lepaskan sedikit demi sedikit. Berdamailah dengan ketidaksempurnaan. Belajarlah hadir di masa kini.
Karena terkadang, satu-satunya yang perlu kita tenangkan… adalah kepala kita sendiri. ***