Jamu Gendong: Ketika Rasa dan Warisan Berpadu

Jamu Gendong: Ketika Rasa dan Warisan Berpadu
Bude Sri sambil menyajikan segelas jamu kepada pelanggannya. (FOTO: M. Arief Dwi Anandifa)

IKOBENGKULU.COM – Di tengah kemajuan zaman dan modernisasi, penjualan jamu keliling tetap menjadi salah satu warisan budaya yang bertahan. Para penjual jamu keliling masih bisa ditemukan di sudut-sudut desa hingga kota, membawa racikan herbal alami yang dipercaya mampu menyembuhkan berbagai penyakit dan menjaga kesehatan.

Salah seorang penjual jamu gendong di daerah belakang kampus Dehasen , Bude Sri, mengaku sudah dari tahun 1980 berkeliling menjajakan jamu. Ia berkeliling setiap pagi di daerah Sawah Lebar.

Harga jamu keliling yang relatif terjangkau juga menjadi salah satu alasan mengapa minuman ini tetap diminati. Dengan harga mulai dari Rp5.000, masyarakat bisa menikmati beragam jamu, seperti beras kencur, kunyit asam, hingga temulawak yang dipercaya bisa meningkatkan daya tahan tubuh dan mengobati berbagai penyakit ringan.

"Jamu ini bukan sekadar minuman, tapi obat herbal, masyarakat masih percaya khasiat jamu untuk kesehatan. Meskipun sekarang banyak obat-obatan modern,  jamu tetap diminati," ujar Bude Sri sambil menyajikan segelas jamu kepada pelanggannya.

Meskipun begitu, Sri mengakui bahwa tantangan tetap ada. Salah satu tantangan terbesar adalah persaingan dengan minuman kesehatan instan yang kini banyak tersedia di pasaran. “Sekarang banyak minuman kesehatan  instan, tapi rasa dan khasiat jamu alami beda,” ujar Sri dengan optimis.

Penjualan jamu keliling ini bukan hanya soal bisnis, tapi juga melestarikan kebiasaan mengonsumsi ramuan herbal yang diwariskan turun-temurun. Harga yang terjangkau serta bahan-bahan alami menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat yang ingin menjaga kesehatan secara tradisional.

Penjualan jamu keliling tidak hanya memberikan manfaat kesehatan, tetapi juga menjadi simbol keberlanjutan tradisi Indonesia. Di tengah perubahan zaman, penjual jamu keliling seperti bude Sri berharap tradisi ini tetap hidup dan diminati oleh generasi mendatang.

Penulis: Seftiana 
Foto     : M. Arief Dwi Anandifa