CERPEN: Sejuta Rasa Dalam Satu Senja

CERPEN: Sejuta Rasa Dalam Satu Senja
Sejuta Rasa Dalam Satu Senja/Ilustrasi/AI

SETELAH sekian lama dipisahkan oleh kesibukan masing-masing, akhirnya rasa rindu Raka pada Kia terobati. Mereka berencana jalan-jalan ke sebuah destinasi wisata alam di kota, tempat yang pernah Kia kunjungi.

Waktu menunjukkan pukul 13.40 WIB, Raka dan Kia tiba di destinasi wisata alam di Kota tempat mereka bekerja dan menimbah ilmu. Pemandangan hijau dan angin sepoi-sepoi membawa kesejukan, menambah kesan damai di tempat itu. Mereka duduk di tepi danau, menikmati alam dan bercengkerama. Raka merasa semua kerinduan dan penantiannya terbayar di momen itu. Kia ada di sampingnya, senyumnya menghangatkan suasana, dan alam seolah ikut merestui kebahagiaan mereka.

Mereka berbicara tentang banyak hal—dari pekerjaan, mimpi masa depan, hingga hal-hal kecil yang lucu. Setiap kalimat yang keluar dari mulut Kia terasa ringan, tetapi selalu mampu membuat Raka tertawa atau merenung sejenak.

Di tengah percakapan, Kia tiba-tiba menanyakan sesuatu yang tak disangka oleh Raka. "Raka, sebenarnya perempuan seperti apa yang kamu sukai?" Pertanyaan itu membuat Raka terdiam sejenak, berpikir. Ia tahu bahwa ini bukan pertanyaan yang biasa, dan mungkin Kia sedang mencari jawaban lebih dari sekadar kata-kata ringan.

Raka tersenyum dan menjawab dengan lembut, "Aku suka perempuan yang sederhana, yang bisa membuatku nyaman hanya dengan kehadirannya. Seseorang yang tulus dan tidak mencoba menjadi orang lain." Ia menatap Kia, berharap ia bisa memahami apa yang tersirat dari jawabannya.

Kia terlihat berpikir sejenak sebelum melanjutkan, "Tapi kenapa aku? Masih banyak perempuan lain di luar sana yang jauh lebih cantik dan menarik dibanding aku." Kalimat itu membuat Raka terkejut. Baginya, Kia adalah sosok yang spesial, dan tidak pernah sekalipun ia merasa perlu membandingkan Kia dengan orang lain.

Raka kemudian mengambil napas dalam-dalam dan berkata, "Kia, kamu mungkin tidak menyadarinya, tapi kecantikan itu bukan hanya tentang penampilan fisik. Kamu membuatku merasa dihargai, dipahami, dan itu jauh lebih penting. Kamu adalah orang yang selalu ingin aku ajak bicara, bukan karena kamu yang paling cantik, tapi karena kamu yang paling tulus."

Mendengar jawaban itu, Kia tersenyum kecil, namun ada secercah ketidakpercayaan di matanya. Meskipun begitu, Raka bisa merasakan bahwa sedikit demi sedikit Kia mulai menerima kata-katanya. Mereka melanjutkan percakapan sambil sesekali tertawa, menikmati suasana senja yang semakin damai.

Hari itu berakhir dengan kehangatan yang tak terucap. Mereka berdua berjanji untuk lebih sering bertemu dan berbicara secara jujur tentang perasaan mereka. Raka merasa beruntung bisa mengenal Kia lebih dalam, dan bagi Kia, mungkin ini adalah awal dari kepercayaan diri yang baru.

Di penghujung pertemuan, mereka saling bertukar pandang, menyadari bahwa apa yang mereka miliki lebih dari sekadar pertemanan biasa. Ada kedekatan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata, sesuatu yang hanya bisa dirasakan ketika dua hati benar-benar saling memahami. (RW)