BENGKULU, IKOBENGKULU.COM – Doa berbalut mantra samar-samar menggema dilantunkan Mardi Harun (47), keturunan Raja Limpar Alam, pewaris sakral ritual adat basua beniah. Ia datang langsung dari Desa Selali, Kecamatan Pino Raya, Bengkulu Selatan, untuk memimpin ritual yang dibawa dari Pagaruyung tersebut.
Kali ini, pelaksanaan basua beniah dilakukan di Desa Muara Dua, Kecamatan Semidang Alas, Kabupaten Seluma. Butuh waktu sekitar 2 jam bagi Mardi, untuk tiba di desa yang menjadikan lahan persawahan sebagai sumber penghidupan utama itu.
Benih-benih yang dibawa para petani di desa yang memiliki 173 Kepala Keluarga (KK) itu dikumpulkan di karung sebelum ritual dibuka. Dilanjutkan dengan pemotongan kambing yang akan diambil darahnya, dicampur dengan benih yang sudah terkumpul.
Setelah dilakukan ritual, benih-benih yang sudah dibasuah dibagikan kepada masyarakat yang membutuhkan. Selanjutnya akan ditanam pada musim tanam berikutnya.
Bukan tanpa alasan, basua beniah digelar kembali dikarenakan ancaman paceklik semakin nyata di desa yang terletak di hulu sungai Alas itu. Sekitar 200 hektare labih sumber kehidupan di sana gagal panen, sejak tahun 2022.
Gelisah akan rezeki padi yang makin menurun, bahkan setiap tangkai bulir yang siap dipanen hampa tak berisi, para pemangku memberikan perlawanan dengan ritual adat basua beniah.
Memohon berkah kepada sang Seniang Seghi (Dewi Sri atau dewi padi menurut kepercayaan masyarakat Serawai), untuk mendapatkan hasil panen berlimpah di musim berikutnya.
“Basua beniah ini sama seperti tradisi nundang padi di Selali. Tapi cakupan basua beniah ini dikit dan dilaksanakan setahun sekali. Kalau ngundang padi itu 5 tahun sekali,” tutur Mardi dengan dialek kental Serawai Bengkulu Selatan, Rabu, 17 Juli 2024.
.jpg)
Mengenakan kaos panjang merah jambu, Mardi tampak santai berkisah tentang asal-usul basua beniah, sebulan setelah pelaksanaan ritual adat di Desa Muara Dua.
Alkisah, Sultan Hidayatullah Iskandar Zulkarnain yang merupakan anak dari Iskandar Zulkarnain memiliki keturunan yang menempati Minangkabau.
Setelah memiliki keturunan, tiga putranya diangkat sebagai raja di tiga wilayah. Meliputi, Raja Adat di Pulau Emas Pagaruyung dengan gelar Rajo Mangkoto Alam; raja di Tanah Ranum di sebelah kanan Pulau Emas dengan gelar Raja Mengintar Alam; dan Raja di Tanah Siam sebelah kiri Pulau Emas dengan gelar Raja Malinggang Alam.
“Nah, Rajo Mangkoto Alam ini merantaulah ke Selali, lalu menikah dengan seorang putri Kerajaan Serawai,” kisah lelaki yang memiliki tiga orang anak itu.
Selama perjalanan dari Pagaruyung, Raja Mangkoto Alam membawa beberapa barang berharga yang kemudian diwariskan kepada keturunannya. Diantaranya, cap Pagaruyung, tambo atau silsilah keluarga, dan berbagai jenis padi dari induk padi besar. Meliputi padi saleah, padi serasai, padi cina atau padi kuning, padi pulut, dan padi saleah kecil.
Pada saat itu, benih yang dibawa masih sangat terbatas. Para raja-raja itu pun akhirnya melakukan musyawarah. Setelah ditemukan mufakat, maka dilaksanakanlah basuan beniah dan ngundang padi.
“Maka, mufakat rajo-rajo itu prosesi utama yang harus ada dalam pelaksanaan basua beniah. Rajo-rajo ini seperti kepala desa, kepala dusun, dan lainnya,” tukasnya, dilanjutkan dengan mengajak mengunjungi makam Raja Mangkoto Alam.
Makam ini terletak di salah satu gang kecil Desa Selali. Makam yang cukup terawat, beratapkan genteng dengan tiang kayu kokoh yang dicat biru, serta dipagari semen yang tingginya selutut orang dewasa.
Tapak penelusuran basua beniah dilanjutkan ke Desa Muara Dua yang baru melaksanakan ritual itu pada Juni 2024 lalu. Selama perjalanan, bentangan hutan menyanjung mata. Pepohonan nan hijau, sungai yang jernih.
Terik mentari cukup mendukung. Kendaraan yang dibawa terhindar dari becek akibat hujan, sebab jalan yang dilewati masih belum beraspal. Memberi perlawanan, roda kendaraan yang melintas memantul-mantul akibat jalan yang cukup bergelombang, terjal, dan berkerikil.
Kurang dari satu jam, hamparan ladang tak terurus menyita perhatian. Di sanalah Desa Muara Dua. Sementara ladang tersebut adalah tanaman padi masyarakat yang gagal panen.
Beranjak dari hamparan padi yang sudah menguning itu, ikobengkulu.com memasuki dusun II Desa Muara Dua, yang merupakan lokasi dilakukannya ritual adat basua beniah sebulan lalu.
.jpg)
“Rezeki kami dari padi sangat-sangat menurun termasuk kualitasnya. Rasanya pahit,” keluh salah seorang petani, Padilian. Saat ditemui, ia tampak sedang berbincang dengan istri dan menantu di teras rumahnya.
Dialek yang digunakan masyarakat Desa Muara Dua mulai berbeda. Jika pada umunya masyarakat Seluma dan Bengkulu Selatan menggunakan dialek Serawai, di desa tersebut masyarakat sudah menggunakan dialek Pasemah. Sekilas dialek dari Bahasa melayu Bengkulu tersebut memang agak sama.
Hanya saja, Serawai biasanya menggunakan akhiran “o atau au” seperti kata lima menjadi limo dan limau, sementara dialek Pasemah menggunakan akhiran “e” menjadi lime.
Meski penglihatannya terganggu, ingatan kakek yang sudah berkepala enam itu mengenai keberadaan basua beniah dan ketahanan pangan di desanya masih tetap terjaga. Menurutnya, bukan tanpa alasan ritual itu digelar kembali setelah ditinggalkan lebih dari setengah abad di Desa Muara Dua. Dari tahun ke tahun, hasil panen selalu merosot.
Bahkan, di musim panen 2024 ini, tidak ada yang bisa dipanen. Bulir padi di lahannya yang juga dibantu oleh sang anak hampa. “Tidak ada yang berhasil panen tahun ini,” terangnya sembari menyilang jari seolah menampakkan kekecewaan.
Basua beniah, menurut Padilian menjadi senjata akhir untuk mempertahankan pangan di desanya. Pasalnya, banyak upaya sudah dilakukan, termasuk dengan mencoba berbagai macam pestisida tetapi sejenis walang sangit itu tak henti menggerogoti tanaman padi mereka.Padi memanglah penghasilan utama masyarakat di Desa Muara Dua.
Bahkan, luas lahan persawahan dahulunya mencapai 700-an hektare. Akan tetapi, akibat kegagalan panenan dan tren pasar ekonomi, beberapa masyarakat sudah mengalih fungsikan lahan mereka ke tanaman sawit.
“Untuk lahan yang saya miliki hanya ada 1,5 hektare saat ini. Biasanya, dalam keadaan normal satu hektare itu bisa dapat 80-an karung,” kenangnya.
Mengenai pelaksanaan basua benih, menurut Padilian terakhir dilakukan sekitar tahun 1979. Di tahun tersebut, banyak masyarakat meninggalkan desa merantau ke daerah perkebunan.
Setelah kembali lagi dan masuknya transmigrasi, tradisi tersebut tidak pernah dilakukan kembali. Benih yang sudah di lakukan tradisi basua beniah itu, akan mulai dimanfaatkan pada musim tanam padi di penghujung 2024 ini.
"Mudah-mudahan ke depan, setelah melaksanakan kembali tradisi ini, hasil panen membaik. Jangan sampai terulang kembali gagal total,” harapnya.
Tiga Disiplin Ilmu, Unsur di Basua Beniah
Walau tampak sederhana, ternyata ritual adat basua benih mengemban tiga unsur disiplin ilmu. Hal ini diungkapkan oleh Praktisi dan Pengamat Pertanian, M. Rasyid.
Lelaki yang merupakan pensiunan Dinas Pertanian Kabupaten Seluma ini menjelaskan, ketiganya yakni ilmu budaya, ilmu iklim, dan ilmu pertanian.
Ilmu budaya yang dimaksud yakni menampilkan ciri khas keunikan lokal daerah. Seperti saat ritual adat digelar juga ditampilkan tarian-tarian khas Suku Serawai, meliputi Tari Andun dan Tari Numbak Kebau.
Sementara ilmu iklim berhubungan dengan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Ilmu ini berkaitan langsung dengan fenomena alam dan kearifan lokal agar musim tanam dilakukan di waktu yang tepat. Terakhir Ilmu Pertanian, dimulai dari seleksi benih, semai, panen hingga pasca panen.
“Melalui tradisi ini, saya mengakui kecerdasan nenek-nenek moyang zaman dahulu,” ungkap Rasyid saat ditemui di kafe miliknya, Kapitalis yang ada di daerah Tais, Kabupaten seluma, Jumat, 26 Juli 2024.
Ia menjelaskan, ritual adat basua beniah ini jika diselaraskan dengan fenomena alam memang sangat berkorelasi. Baik yang diakibatkan oleh faktor alam maupun cuaca ekstrem yang mengakibatkan kekeringan.
Untuk itulah, tradisi basua beniah memiliki keterikatan dengan kearifan lokal yang sangat kuat. Contohnya, banyak burung yang melakukan imigrasi dari laut ke gunung, yang menandakan akan datang musim hujan. Atau, banyak ikan di laut yang menepi, yang menandakan akan datang musim kemarau serta tanda-tanda alam lainnya.
“Nah, pada dasarnya basua beniah harus dikaitkan dengan tanda-tanda itu, yang biasanya akan dihubungkan dengan musim hujan,” terang pria umur 60 tahun ini.
Untuk itulah, biasanya pelaksanaan basua beniah dilakukan setelah masyarakat mengalami gagal panen. Baik karena kekeringan maupun serangan hama seperti tikus, walang sangit, wereng, dan lainnya.
Untuk penyeleksian benih, ia juga menjelaskan ada empat tahap yang tidak boleh ditinggalkan. Unsur tersebut juga harus terpenuhi untuk menghindari kegagalan panen akibat kualitas benih.
Pertama, padi yang ditanam dalam satu lahan harus seragam atau homogen. Jadi yang ditanam hanya satu jenis padi saja, hal itu untuk mempermudah penyerbukan. Selanjutnya, padi yang diseleksi harus benar-benar matang. Padi yang akan dijadikan bibit harus diambil lima langka dari pelang (pembatas).
“Karena kalau mengambil yang di dekat pelang dikhawatirkan terjadi penyerbukan silang dari varietas lain, sehingga tidak murni,” ungkapnya.
Setelahnya, calon benih yang sudah terkumpul harus dikeringkan terlebih dahulu dengan kadar air 13 persen. Jika dilakukan secara tradisional, harus dijemur selama dua hari. Lalu digigit untuk mengetahui kadar airnya. Jika sudah patah keras, maka dianggap sudah mencapai 13 persen.
Setelah kering, calon benih yang sudah didapatkan harus direndam dengan air garam dengan komposisi dua persen dari berat benih. Dengan begitu, calon benih yang tidak bagus akan mengapung. Barulah direndam dengan air mengalir selama 24 jam. Setelah berkecambah, baru benih-benih tersebut disemai di lahan yang sudah disiapkan.
Tradisi basua beniah ini menurun Rasyid sangat bersifat sakral dan secara turun temurun diyakini membawa berkah, maka harus tetap dijaga dan dilestarikan. Sementara saat ini, tradisi tersebut mulai ditinggalkan masyarakat.
“Maka itu tradisi ini diharapkan dapat digalakkan kembali, yang sifatnya sakral, memohon doa kepada tuhan, gagal panen, dan kekurangan pangan bisa teratasi,” demikian Rasyid.
.jpg)
12.764 Hektare Lahan Persawahan di Seluma Alih Fungsi
Dinas Pertanian Kabupaten Seluma mencatat 12,764 hektare lahan persawahan sudah mengalami alih fungsi selama 5 tahun berturut-turut. Bahkan, hilangnya lahan persawahan tertinggi terjadi di tahun 2021, mencapai 6.138. Jika sebelumnya luas lahan persawahan di tahun 2020 tercatat 21.679 hektare menjadi di tahun 2021 menjadi 15.541 hektare.
Merosotnya lahan pertanian terjadi kembali di tahun 2023 lalu, mencapai 5.075 hektare. Dari semula di tahun 2022 sebanyak 13.986 hektare, di tahun 2021 menjadi 8.911 hektare. Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Seluma, Arian Sosial, S.P., M.Si., menjelaskan salah satu faktor penyebab hilangnya lahan pertanian yakni terjadinya gagal panen.
Hal tersebut memang marak terjadi, seperti di Desa Muara Dua yang melakukan ritual adat basua beniah baru-baru ini. Secara garis besar, Arian menjelaskan terdapat tiga faktor penyebab alih fungsi lahan yang terjadi di Seluma.
Meliputi, tren pasar ekonomis masyarakat banyak beralih ke komoditi perkebunan karena menganggap perkebunan lebih menjanjikan secara pendapatan ekonomi. Terlebih masyarakat yang mengalami gagal panen secara terus menerus.
Pengaruh sistem infrastruktur, irigasi yang rusak atau mungkin belum ada pengairan Teknik juga sangat mempengaruhi. Serta, pemahaman sumber Daya Masyarakat (SDM) yang tidak melihat aspek jangka panjang dan prospek ke depan seperti apa. “Jadi, secara menyeluruh adai 3 variabel yang mempengaruhi alih fungsi lahan ini,” jelas Arian.

Hilangnya lahan persawahan menyebabkan luas panen yang juga menurun. Bahkan, selama 5 tahun ini sudah berkurang 10.581 hektare. Dari semula 21.248 hektare di tahun 2019, menjadi 11.767 hektare di tahun 2023.
Berkurangnya luas panen tertinggi, juga terjadi di tahun 2020 mencapai 4.947 hektare. Dari semula 21.248 hektare menjadi 15.301 hektare.
Meski luas lahan persawahan berkurang, produktivitas padi di Seluma masih cukup fluktuatif selama 5 tahun ini. Hal ini dikarenakan, jika dahulu para petani padi hanya menanam padi 2 kali setahun. Saat ini menanam hingga 3 kali setahun.
Di tahun 2019 produksi padi di Seluma tercatat 61.176 ton mengalami penurunan yang cukup signifikan di tahun berikutnya yakni menjadi 31.675 ton. Di tahun 2021, produksi padi di Seluma sedikit naik menjadi 32.697 ton.
Kenaikan produksi cukup signifikan di tahun 2022, bahkan hingga 64.271 ton. Sedangkan di tahun 2023 ini, sedikit kembali menurun menjadi 63.804 ton.
Selama ini, diakui Arian, Seluma memang menjadi penyuplai bahan pangan padi terbesar di Provinsi Bengkulu setelah Bengkulu Selatan, baik dari segi produksi maupun luas lahannya. Namun, seiring dengan berjalannya waktu banyak lahan yang tadinya merupakan komoditi pangan beralih menjadi komoditi perkebunan.
Untuk itu, ia memberikan imbauan kepada masyarakat, khususnya di Kabupaten Seluma untuk tetap mempertahankan lahan persawahan yang ada saat ini. Bahkan jika memungkinkan, ia meminta lahan yang sudah beralih fungsi itu kembali dimanfaatkan sebagai lahan persawahan.
“Yakinlah, tanaman pangan itu adalah urusan perut dan termasuk salah satu ke stabilitas negara untuk menjaga NKR,” ucapnya.
Melihat alih fungsi lahan yang makin hari makin marak terjadi, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Seluma menetapkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 04 tahun 2023 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B).
Di dalam perda tersebut terdapat 6.546 hektare lahan persawahan yang dilarang untuk di alih fungsikan. Sebanyak 6.546 hektare lahan tersebut merupakan hasil sinkronisasi peta LSD LP2B tahun 2023.
Sebanyak 6.546 hektare lahan persawahan tersebut sudah permanen dilindungi secara aturan. Bahkan, pihak Pemkab Seluma juga sudah menyiapkan 1.700 hektare lahan persawahan cadangan jika dibutuhkan mendesak seperti pelebaran jalan.
Pemerintah mengambil kebijakan khusus, petani yang menggarap lahan akan terus diperhatikan dengan memberikan bantuan benih, alsintan, dan perbaikan infrastruktur irigasi. “Dengan begitu harapan kita, lahan pertanian bisa terus berfungsi dan terus terjaga untuk komunitas pangan di daerah Seluma ini,” kata Arian.

Pihaknya sangat mendukung adanya tradisi luhur nenek moyang basua beniah yang masih dilakukan oleh masyarakat Seluma. Diharapkan dengan adanya tradisi tersebut, masyarakat tetap semangat untuk mempertahankan lahan persawahan untuk tetap difungsikan dalam mencukupi kebutuhan
Kegiatan yang mutlak sebagai kegiatan budaya lokal tersebut, harus dikembangkan sebagai aspek kearifan lokal yang merupakan ciri khas di Kabupaten Seluma.
“Silahkan digunakan, silakan untuk diekspor lagi. Mudah-mudahan ini juga dapat mengundang wisatawan lokal untuk bisa menyaksikan keunikan kiat-kiat budaya tersebut,” tutupnya.
Lestarikan Tradisi Lokal dengan Sekolah Adat
Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Fahmi Arsandi, mengatakan di Kabupaten Sleuma, terdapat banyak sekali komunitas masyarakat adat. Setiap komunitas tersebut memiliki berbagai macam tradisi yang dilakukan, seperti bimbang bebalai, basua beniah dan semacamnya.
Sejak tahun 2020, komunitas AMAN dan masyarakat adat di Seluma sudah mendorong kebijakan pemerintah daerah melalui Peraturan Daerah (Perda).
Setelah berproses selama 2 tahun, akhirnya ditetapkan Perda Nomor 3 tahun 2022 tentang Pedoman Pengakuan Masyarakat Adat di Kabupaten Seluma.
Di dalam Perda tersebut juga diatur berbagai macam konten masyarakat adat di Seluma yang perlu menjadi kewajiban bersama-sama. Baik itu kewajiban di komunitasnya sendiri maupun kewajiban Pemerintah Daerah untuk tetap memastikan dan melestarikan tradisi yang ada.
“Di beberapa tempat yang dilakukan, setiap ada tradisi tahunan tetap diselenggarakan. Namun, tetap banyak tradisi yang sudah ditinggalkan. Termasuk basua beniah ini yang sudah mulai ditinggalkan,” ujarnya.
Untuk memastikan tradisi maupun adat istiadat di Seluma, komunitas AMAN juga membuat sekolah adat. Untuk saat ini, sekolah adat yang baru ada di Seluma tersebut berada di daerah Desa Napal Jungur, Bernama Sekolah Adat Tigo Jungku.
“Saat ini, banyak anak muda yang sudah tidak tahu adat istiadat dan kebudayaan, apalagi yang biasanya sekolah di luar (kabupaten Seluma/merantau). Sekolah ini diharapkan mampu menjadi wadah untuk kita memperkenalkan adat istiadat yang ada,” demikian Fahmi. ***
Artikel ini merupakan hasil fellowship program “Let’s Talk About Climate: Training Program for Journalist” kerjasama AJI Indonesia dan DW Akademie dengan dukungan Kementerian Luar Negeri Jerman. Isi seluruh artikel merupakan tanggung jawab penulis.