Oleh: Grace Wangge – Universitas Monash Indonesia
BANYAK bukti menunjukkan dampak penggunaan media sosial terhadap kesehatan mental generasi muda, namun seringkali penelitian mengabaikan negara-negara berkembang di wilayah selatan bumi.
Sejumlah 4,89 miliar individu di seluruh dunia memanfaatkan media sosial, dengan jumlah terbesar adalah kaum muda, di tengah meningkatnya kekhawatiran mengenai dampak waktu yang mereka habiskan secara online terhadap kesehatan.
Meski terdapat banyak studi yang mengindikasikan bagaimana isi media sosial—yang kebanyakan tidak tepat—berperan dalam permasalahan kesehatan mental, hanya sedikit yang menyoroti kawasan Asia Pasifik, tempat mayoritas pengguna media sosial berada dan berkembang dengan cepat.
Pekerjaan yang sudah ada mungkin tidak menggambarkan secara akurat kondisi di negara-negara berkembang di kawasan tersebut serta negara-negara lain di Global Selatan.
Platform seperti Instagram dan TikTok kini menjadi kebutuhan pokok bagi Generasi Z dan Alpha, yang lahir setelah tahun 1996.
Pada tahun 2023, lebih dari setengah penduduk dunia aktif di media sosial dengan rata-rata penggunaan dua jam 26 menit setiap hari.
Hampir 60 persen dari pengguna ini berada di Asia-Pasifik.
Angka penggunaan media sosial yang besar dan perkiraan pertumbuhannya sangat berdampak pada kesehatan mental saat platform seringkali mempromosikan standar kecantikan yang tidak realistis, menyebarkan informasi salah yang berkontribusi pada ketidakpuasan terhadap tubuh, gangguan makan, dan dismorfia tubuh.
Sebuah tinjauan sistematis menyoroti peran media sosial dalam memperburuk masalah tersebut.
Uji coba terkontrol acak pada tahun 2023 menunjukkan bahwa membatasi penggunaan media sosial menjadi satu jam sehari bagi individu berusia 17 hingga 25 tahun berdampak signifikan pada peningkatan citra tubuh dan berat badan dalam tiga minggu.
Namun, laporan terbaru yang meneliti dampak Facebook terhadap kesejahteraan hampir satu juta orang di 72 negara menemukan bukti terbatas tentang kerugian psikologis yang berkaitan dengan penggunaan media sosial secara global.
Meskipun Asia Pasifik merupakan kawasan dengan populasi terbanyak, 70 persen peserta dalam studi dampak media sosial berasal dari kawasan Utara, menyoroti isu keragaman sampel.
Dengan perbedaan akses digital dan nilai budaya, ini berarti hasil studi mungkin tidak langsung merefleksikan situasi di Global Selatan.
Ini menekankan kebutuhan untuk tidak hanya meningkatkan keragaman populasi penelitian di masa depan, tetapi juga pentingnya mempertimbangkan faktor sosio-ekonomi dan budaya non-Barat.
Studi kualitatif terhadap remaja perkotaan Indonesia berusia 12 hingga 15 tahun yang memiliki akses internet yang baik menemukan bahwa mereka lebih sering berbicara tentang kemampuan membangun hubungan sosial seperti berbicara atau menelepon daripada kemampuan mengekspresikan diri seperti mengunggah atau mengedit foto atau video.
Gangguan dari media sosial terhadap kegiatan sehari-hari dan proses belajar lebih menonjol di antara kelompok ini daripada isu citra tubuh.
Berbagai peraturan yang mengatur keamanan pengguna media sosial global juga berpengaruh dalam dinamika ini.
Penasihat Kesehatan Masyarakat Amerika Serikat menyatakan bahwa penggunaan berlebihan media sosial merupakan ancaman serius terhadap kesehatan mental remaja, mendorong keluarga untuk menetapkan batasan penggunaan dan pemerintah untuk menerapkan standar yang lebih ketat.
Mereka juga menginginkan agar penyedia teknologi melibatkan ahli psikologi perkembangan dan kesehatan mental dalam tim produk mereka sebagai cara untuk mengurangi potensi bahaya bagi pengguna muda.
Ini merupakan langkah signifikan dari Penasihat Kesehatan Masyarakat, mengingat banyak platform media sosial berbasis di Amerika Serikat.
Namun, ini juga menyoroti ketergantungan Global Selatan pada peraturan keamanan media sosial dari negara-negara Global Utara.
Perlu ada pergeseran fokus dari mengendalikan dampak negatif media sosial terhadap kesehatan masyarakat ke potensi media sosial dalam menyediakan akses ke dukungan kesehatan mental, terutama di tempat dengan sumber daya terbatas.
Laporan tahun 2016 menunjukkan bahwa media sosial berperan sebagai "tempat aman secara digital" bagi remaja di Afghanistan, memungkinkan diskusi tentang topik penting seperti hak-hak perempuan, seksualitas, kekerasan dalam rumah tangga, dan aborsi.
Studi di Indonesia juga menemukan bahwa remaja melihat media sosial sebagai media baru yang mungkin menawarkan manfaat yang perlu diperhatikan oleh orang tua dan pemangku kepentingan lainnya.
Media sosial telah menjadi sumber informasi kesehatan masyarakat yang penting, terutama selama pandemi COVID-19. Namun, kegunaannya sebagai alat untuk meningkatkan literasi kesehatan mungkin lebih terlihat selama krisis kesehatan.
Memanfaatkan potensi media sosial sebagai alat kesehatan masyarakat membutuhkan investasi berkelanjutan dalam literasi media bagi pekerja kesehatan.
Yang terpenting, ini juga membutuhkan penyampaian informasi kesehatan yang akurat dan seimbang secara proaktif, yang dapat mengurangi kebutuhan untuk membantah informasi salah yang beredar di media sosial.
Otoritas pengatur di negara-negara Global Selatan harus menyadari peran penting mereka dalam upaya ini.
Jika Anda mengalami masalah atau khawatir tentang seseorang yang Anda kenal, kunjungi https://findahelpline.com/i/iasp. ***
Grace Wangge adalah seorang profesor di Monash University Indonesia. Ia adalah salah satu pendiri Komunitas Relawan Edukasi Anti Hoax Indonesia (Redaxi).